Skip to main content

Serasa Dipecundangi Mantan (Provinsi)

Disclaimer: Tulisan kali ini tidak membahas soal mantan-mantan gandengan saya. Ini bukan postingan baper. Sekali lagi percayalah! Tidak ada muatan-muatan atau kepentingan-kepentingan yang bernada sendu mendayu-dayu.

Entah mengapa, lagi-lagi kok saya bisa menemukan berita menarik pada sebuah koran yang sudah berkali-kali saya bahas isinya di blog ini. Dan ketemunya itu kok ya pada saat saya lagi makan. Kalau tidak saat makan nasi goreng tengah malam, ya pada saat santap siang di tengah panasnya kota Surabaya (tapi giliran hujan lebatnya Masya Allah... edan!). Sebab-musababnya, tak lain dan tak bukan, karena di tempat-tempat yang menjadi jujugan saya untuk makan cuma ada koran itu saja (saya rasa tidak usah sebut merek lagi, he he he).

Kemarin lusa (18 Februari 2016), sehabis diskusi dengan teman di kampus, saya memutuskan untuk makan siang karena mumpung ada uang lapar. Sayur cap cay ditemani ayam tepung langsung saya nikmati secara khidmat. Tidak bisa asal hajar cepat karena saya makan sambil baca koran. Nah, di koran saya menemukan sebuah berita yang ingin sekali saya bahas di sini. Karena termasuk berita utama yang isinya berbaris-kolom dan panjang, saya cuma bisa foto judulnya saja. Beruntung ada situs berita daring yang memosting berita yang sama, persis. 

Gambar 1: Berita temuan siang itu.

Berita tersebut menceritakan tentang penampilan pejabat-pejabat nasional Timor Leste yang terkesan biasa saja. Bagaimana suasana antrean pengobatan gratis di KRI Soeharso yang tengah bersandar di Pelabuhan Dili yang tidak heboh sama sekali walau didatangi oleh Menteri Solidaritas. Ada juga cerita tentang Menteri Pemuda dan Olahraga yang bermain bersama anaknya dengan tampilan selayaknya ayah dan anak biasa. Tanpa pengawalan dan nggak aneh-aneh. Seolah-olah di mata masyarakat sekitar, kehadiran mereka tidak ada bedanya dengan warga lainnya. Untuk terlihat biasa, bagi orang-orang penting tersebut, rasanya sudah inheren tanpa adanya rekayasa yang dibuat-buat. Apalagi sampai menyamar menjadi tukang becak (padahal bukan pejabat, he he he).

Memang benar kalau pejabat sederhana di Indonesia juga ada. Apalagi sampai menolak penggunaan pengawalan khusus. Malahan fenomena pejabat yang seperti itu terasa biasa saja. Tapi ya gitu, orang sini kalau ketemu pejabat seringkali heboh. Saya masih ingat ketika Menteri Luar Negeri Indonesia mendatangi acara pengukuhan guru besar di kampus saya. Setelah acara pengukuhan usai, banyak orang yang langsung mengerubuti Bu Menteri. Alasannya macam-macam. Ada orang-orang pers yang memang cari berita. Ada pula yang berebutan ingin foto bareng Bu Menteri (termasuk saya). 

Namun sayang seribu sayang, Bu Menteri rupanya terburu-buru. Jadi saya pun gagal mendapatkan kesempatan langka untuk berfoto bersama menteri. Dari situ saja sudah terlihat bagaimana dahsyatnya daya tarik pejabat di Indonesia di mata rakyat biasa. Yah, meskipun kalah jika dibandingkan dengan selebritis. Coba kita bandingkan dengan Bu Menteri Solidaritas yang kehadirannya tidak disambut meriah dan heboh. Orang-orang di sana cuma berbincang basa-basi dengan menteri, tanpa minta foto segala.

Tidak hanya menteri, pejabat sekelas bupati pun juga tak kalah heboh. Ada bupati yang kedatangannya disambut oleh murid-murid sekolah (dan saya rasa ini adalah bentuk respon yang biasa di Indonesia). Ada bupati yang dielu-elukan kalangan ibu-ibu dan anak muda karena bupati dan wakil bupatinya masih berusia muda serta terlihat ganteng dan ngartis. Tidak mau kalah, bahkan anak wakil bupati pun juga ikut-ikutan bikin heboh karena memosting deretan mobil mewahnya di Instagram (sebelum ibunya dijadikan tersangka kasus korupsi). Ini membuktikan bahwa di tengah masyarakat umum, kehadiran sosok pejabat (dari tingkat nasional hingga kabupaten) selalu menjadi magnet tersendiri yang mampu menghasilkan tingkat kehebohan yang sangat dahsyat membahana.

Namun hati saya seketika terasa ketatap ketika membaca bagian akhir berita yang tertulis seperti ini.
Karena itu, Dexis mengaku heran saat melihat rombongan seorang bupati di Nusa Tenggara Barat datang dengan pengawalan penuh. “Di sini bupati itu seperti, ahhhh…, orang biasa,” ujarnya.

Kalimat tersebut terdengar seperti sebuah sindiran yang nyata dari seorang warga Timor Leste terhadap pejabat-pejabat Indonesia yang menjadi magnet kehebohan dan terlihat spesial. Meskipun berita tersebut tidak mencerminkan gaya hidup para pejabat Timor Leste secara keseluruhan. Namun apabila ada orang Timor Leste yang berpendapat seperti itu, rasanya kita sudah terbiasa memandang heboh pejabat kita sendiri. Entah karena pejabat yang kurang egaliter, atau justru pola pikir masyarakat kita sendiri yang terlalu meninggikan predikat sang pejabat. Mungkin ini rasanya ketika dipecundangi oleh mantan provinsi kita sendiri. 

Bagi kalian-kalian yang merasa menjadi mantan saya, tidak usah salah sangka. Apalagi sampai misuh-misuh. Saya tidak sedang membahas kehidupan kalian kok. Baik di masa kini maupun di masa lalu. Ketika anda masih dekat dengan saya. He he he.

Surabaya, 20 Februari 2016, 05:15.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).