Skip to main content

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap



Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini.


Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Saya beserta kakak saya menjadi alumni di SMA Taruna Dra. Zulaeha, sekolah menengah yang dinaungi oleh yayasan pendidikan milik pabrik kertas ini (Meskipun yayasan milik BUMN, tetapi sekolah ini berstatus swasta). Orang tua kami menyekolahkan kami di tempat itu karena memang sekolah ini terkenal akan kualitas dan kedisiplinannya (Meskipun berdasarkan penuturan dari beberapa alumni, jaman sekarang tidak sekaku jaman dahulu) sehingga menjadi salah satu sekolah terbaik di Probolinggo. Hal ini saya anggap benar jika melihat dari dedikasi dari tenaga pendidik dan pengajar yang tetap profesional walau yayasan kekurangan dana karena dari pabrik sendiri sedang mengalami masalah (berlarut-larut hingga sekarang). Sebagai konsekuensinya, kami sedikit banyak tahu soal kondisi pabrik kertas ini semasa mengenyam bangku SMA. Terlebih mayoritas murid di sekolah itu adalah anak dari karyawan BUMN ini. Semasa sekolah, saya sering mendengar cerita suka dan duka dari teman-teman dan bapak kos saya tentang Pabrik Kertas Leces. Meskipun kisah sukanya kebanyakan berupa romantisme kejayaan pabrik ini di era Orde Baru dan bagi saya justru cerita “suka” terasa seperti sebuah ironi yang getir.
Gambar 2: Taruna... Taruna... Itulah sekolah kita.
 Masa SMA saya di sana adalah sebuah masa keterpurukan bagi pabrik BUMN itu. Saya mendengar bahwa pabrik ini tidak lagi memproduksi kertas semasif dulu karena kalah saing dengan korporasi lain semacam Sinarmas dll. Berita tentang karyawan yang tidak digaji sekian lama, demo karyawan, hingga kabar bahwa beberapa direksi perusahaan ini dituduh melakukan korupsi. Tak cukup sampai di situ, cerita-cerita getir ini berlanjut di kehidupan keluarga karyawan. Ada kawan yang kurang beruntung menjadi semakin terpuruk ketika krisis ini datang. Hingga yang lebih parah, ada cerita tentang murid SD yayasan tersebut yang pingsan karena selama beberapa hari satu keluarga tersebut tidak makan. Penyebabnya adalah tidak adanya penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka. Bisa dibilang bahwa saat ini adalah sebuah annus horribilis bagi keluarga karyawan Pabrik Kertas Leces, sebuah tahun-tahun musibah. Bahkan tidak terasa adanya usaha dari pemerintah untuk membantu nafas hidup BUMN yang malang ini. Seolah pemerintah ikut tunduk di hadapan korporasi ini.

Salah satu penyebab kemunduran pabrik ini adalah perjanjian ekspor yang dibatalkan. Menurut cerita yang saya dengar dari guru SMA saya, pihak importir dari luar negeri membatalkan perjanjian karena mengetahui bahwa (pada saat itu) bahan baku kertas yang digunakan oleh Pabrik Kertas Leces berasal dari kayu. Mereka menganggap bahwa penggunaan kayu sebagai bahan mentah kertas sama halnya dengan mendukung pengurangan hutan secara besar-besaran. Semenjak itulah Pabrik Kertas Leces beralih menggunakan limbah tebu sebagai bahan baku mentah kertas produksi mereka. Dengan konsekuensi bahwa kualitas kertas menjadi turun, tidak sebagus kertas dari bahan kayu. Namun anehnya, Sinarmas sebagai pesaing yang mampu mengungguli Kertas Leces dengan kertas dan buku produksinya yang lebih berkualitas (Bahkan saking bagusnya, produk Sinarmas bisa ditemui di minimarket koperasi milik Kertas Leces berdampingan dengan produk Kertas Leces sendiri. Lagi-lagi sebuah ironi) menggunakan kayu sebagai bahan baku kertas mereka. Berulang kali nama korporasi ini disebut ketika terjadi bencana kebakaran hutan setiap tahun, namun mereka masih tetap berdiri dengan angkuh. Seolah-olah mereka berkuasa atas hutan kayu di negeri ini, menggagahi asuhan alam Sang Ibu Pertiwi.

Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kasus kebakaran hutan tahun ini mendapat reaksi yang lebih luas dan lebih hebat. Tak hanya warga Indonesia, banyak warga negara-negara tetangga menjadi korban dan memprotes “sedekah” tahunan ini. Pemberitaan di media massa juga lebih gencar dan ganas dalam mengabarkan kasus ini. Apesnya lagi bagi pemerintah, kasus ini (juga) disangkut-pautkan dengan kegagalan politis pemerintah (khususnya di cabang eksekutif) yang memang sedari dulu menjadi sasaran caci-maki sebagian orang. Pemerintah dianggap tidak becus dan tidak berani menindak korporasi-korporasi besar yang disinyalir menjadi “donatur utama” dalam “santunan” asap. Lagi-lagi korporasi yang bernama Sinarmas juga dituding sebagai dalang utama kasus ini. Tetapi, apakah korporasi-korporasi besar kali ini akan benar-benar ditindak secara berat? Atau justru mengulangi tradisi seperti yang sudah-sudah, dengan tenang melenggang kangkung tanpa ditindak. Biarlah waktu yang menjawab.

Setelah apa yang telah terjadi sekarang ini, pikiran saya kembali kepada Pabrik Kertas Leces. Masihkah ada upaya pemerintah untuk menyembuhkan pabrik ini? Bagaimana nasib karyawan pabrik beserta keluarganya saat ini? Apa tanggapan mereka soal kasus ini? Kapan doa dan harapan tentang perbaikan nasib mereka terkabul? Sampai kapan semua musibah ini terjadi? Sekali lagi, biarlah sang kala yang menjawab kegelisahan mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).