Skip to main content

Padam

Padam

Kini aku terduduk dengan tangan terikat di belakang. Aku berada di dalam ruang tamu rumahku, di kelilingi oleh orang-orang berpakaian hitam-hitam dan bertopeng macam rampok. Satu orang berdiri dihadapanku, membawa senapan serbu. Sedang tiga orang lainnya berdiri mengelilingi aku yang terduduk lemas dan pusing akibat serangan popor senjata yang sempat mendarat di dahiku sesaat sebelum akhirnya aku berada di posisi seperti sekarang ini.
            “Hei Lesmana! Kamu kan yang menulis berita-berita fitnah itu?” sahut orang yang memegang senapan.
            “Fitnah? Yang kutulis itu justru sebuah kenyataan.”
            “Mengelak saja terus! Toh sebentar lagi kau akan bernasib sama seperti ibumu!”
“Kutebak kalian dari Macan Hitam ya? Bagiku malah terlihat seperti gerombolan anjing galak pemerintah. Tapi tak kusangka kalian sebaik ini, sampai mau mempertemukan aku dengan ibuku.”
            “Diam! Kamu dan kawan-kawanmu itu sudah sepantasnya dibungkam! Berani-beraninya bikin tulisan sampah yang merusak pikiran rakyat!” Kata salah satu orang misterius itu.
            “Merusak? Yang kami lakukan hanyalah menulis dan mengabarkan para rakyat tentang apa-apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Justru majikan kalian yang selalu merusak rakyat dengan menyuapi mereka berita-berita palsu pabrikan Dinas Informasi.”
“Kurang ajar!” Bentak seorang di kananku yang dilanjutkan dengan tendangan yang mendarat di pelipis kananku. Seketika kepalaku terasa pusing, pandanganku mengabur, kemudian menjadi gelap. Di dalam kegelapan pandangan itu, aku mengingat-ingat semua yang telah terjadi. Aku melayang menyusuri masa lalu.
***
Namaku Lesmana. Pada umur 10 tahun aku menjadi anak yatim. Ayahku, Tirto Hadiwijaya, meninggal dunia karena kanker paru-paru yang dideritanya sebagai akibat atas kebiasaannya sebagai perokok berat. Ayahku adalah seorang penulis dan penyair, namun hingga kematiannya aku belum pernah membaca satupun karya beliau. Namun jika kuingat dari penuturan ibuku, sebagian besar karya ayahku merupakan sajak-sajak ataupun cerita yang menyuarakan ide-ide kental soal kebebasan dan penderitaan kaum kelas bawah, sebuah tema sayap kiri yang dibenci pemerintah karena berbagai sebab. Karena idealisme ayah, ibu mengagumi dan mencintai beliau. Namun karena itu pula, seluruh keluarga Hadiwijaya membenci ayahku. Pamanku, Indrajit Hadiwijaya, mengatakan bahwa ayahku merupakan seseorang yang menyimpang. Di saat semua pria di keluarga Hadiwijaya menjadi seorang polisi atau tentara, ayahku justru menjadi seorang penyair yang tidak jelas. Keputusan ayahku itulah yang dianggapnya sebagai tindakan yang mengecewakan keluarga karena tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang penulis dan penyair yang penghasilannya tidak tentu. Istri Indrajit juga ikut mencemooh dengan berkata betapa bodohnya ayahku yang tidak memiliki penghasilan stabil. Ia juga membandingkan ayahku dengan suaminya yang menjadi seorang opsir tinggi di Dinas Kepolisian dengan penghasilan yang tetap, dapat pensiun dan tunjangan-tunjangan lainnya. Betapa dongkolnya ibu pada waktu itu hingga pada akhirnya ibuku, Denok Pujanegara, memutuskan hubungan dengan keluarga Hadiwijaya. Salah satu bukti keputusan ibuku adalah dengan digantinya kata “Hadiwijaya” menjadi “Tirtoatmojo” yang berarti anak Tirta. Resmilah kini namaku menjadi Lesmana Tirtoatmojo.
Ayahku memang sudah meninggal, namun kisah hidupku tetaplah berjalan. Tanpa ayah, aku hanya diasuh oleh sang ibu yang kini berperan sebagai orang tua tunggal. Jelas hidup kami sepeninggal ayah terasa lebih susah dan berat. Penghidupan kami hanya bersumber dari pekerjaan ibuku sebagai wartawati koran yang tidak berpamor. Namun bisa kulihat betul betapa besar dedikasi beliau terhadap pekerjaan itu. Ibuku selalu berkata-kata soal kebebasan berekspresi dan kebenaran fakta yang belum bisa aku cerna pada saat itu. Tidak hanya bercerita, beliau selalu menyuruhku untuk membaca berbagai macam literatur, khususnya karya-karya almarhum ayahku, dan memintaku untuk menyuratkan bayang-bayang yang tersirat di dalam benakku menjadi sebuah karya cerita. Jujur saja, pada saat itu aku merasa malas dan tidak menemukan alasan yang jelas dari rutinitas terpaksa itu. Seolah-olah ibu memaksaku untuk menjadikan aku seorang penulis seperti ayahku. Namun beliau selalu berdalih bahwa suatu saat nanti didikan itu akan sangat berguna.
Namun didikan itu berakhir ketika ibuku meninggalkan dunia ini tepat ketika aku berusia 16 tahun. Beliau ditemukan mengambang di atas sungai dengan kondisi tak bernyawa setelah hampir seminggu dinyatakan menghilang. Tak hanya aku, rekan-rekan ibuku juga terkejut mendengar kabar ini. Seketika rumahku ramai dikunjungi oleh rekan-rekan ibuku, termasuk salah satunya adalah Om Pamuji. Ketika ia menemuiku, ia berkata bahwa ibuku sengaja dibunuh karena mencoba mengorek-orek kasus pembantaian sekelompok demonstran yang protes di area perkebunan milik pemerintah. Diduga pelaku pembantaian tersebut adalah polisi yang menjaga perkebunan tersebut. Selain itu, Om Pamuji juga berkata sesuatu soal ibuku.
            “Denok menggali informasi tentang kasus itu seolah-olah ia sedang menggali kuburnya sendiri. Dan inilah yang terjadi sekarang, ibumu kini meninggalkan kita semua. Semoga ibumu beristirahat dengan tenang di alam sana.”
Aku tidak menanggapi perkataan Om Pamuji. Pikiranku masih mengambang tak tentu arah.
            “Tapi itulah konsekuensi yang harus kami terima.” Lanjut Om Pamuji tanpa kuminta. “Kami tidak ingin melihat para rakyat hidup disetir oleh kabar-kabar pabrikan pemerintah yang seringkali bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Demi sebuah kebenaran, kami rela melawan arus demi memperjuangkan kebebasan kami dalam menyebarkan kabar-kabar yang nyata dan tanpa rekayasa propaganda pemerintah.”
Rekayasa? Propaganda? Aku masih tidak paham dengan apa yang dimaksud Om Pamuji. Namun singkat cerita, Om Pamuji selanjutnya menjadi orang tua angkatku. Dan ia mengenalkanku pada sebuah komunitas bawah tanah yang kelak akan menjadi tempatku mengisi hidup.
***
Pelita Damar, itulah nama komunitas bawah tanah yang diperkenalkan Om Pamuji kepadaku. Komunitas ini beranggotakan wartawan, sastrawan, seniman, hingga kaum cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebenaran fakta. Setiap Lentera, sebutan untuk anggota Pelita Damar, dituntut untuk bekerja secara rahasia karena pekerjaan mereka tak lepas dari mengkritik pemerintah. Karena di negeri ini, berani mengkritik maka nyawa taruhannya. Selain itu, Dinas Informasi selalu geram dan menuding komunitas ini bersifat subversif dan menyesatkan rakyat. Aku bergabung di komunitas ini pada usia 25 tahun. Dari komunitas inilah aku paham mengapa ibuku selama hidupnya selalu membenci pemerintah. Dari yang kuketahui dari para Lentera, ternyata selama ini pemerintah selalu berusaha menutupi boroknya dengan berita-berita pabrikan Dinas Informasi. Pemberitaan yang beredar selalu menonjolkan pembangunan yang pesat dan membanggakan, makmurnya seluruh rakyat dan terjaminnya keamanan dan ketentraman negeri ini. Namun berita-berita semacam itu justru menutupi dosa-dosa pemerintah selama ini seperti kamp buruh yang berisi para tahanan politik, penambangan besar-besaran yang disertai dengan perbudakan, dibungkamnya para pengkritik pemerintah, dan bahkan pembantaian sekelompok masyarakat miskin yang memprotes pemerintah oleh Dinas Kepolisian. Tetapi peristiwa-peristiwa tersebut selalu tertutup dan jauh dari pengetahuan masyarakat. Kaki tangan pemerintah sangat berguna dalam membungkam siapa saja yang dianggap merugikan pemerintah. Salah satu korbannya adalah almarhumah ibuku sendiri yang kami (para Lentera) yakini dibunuh oleh Macan Hitam, satuan Dinas Kepolisian yang dikenal dengan metodenya yang kejam dan rahasia.
Sebagai seorang Lentera, aku sudah menulis dan menyebarkan beberapa berita borok pemerintah yang selalu tertutup dengan rapi oleh Dinas Informasi. Sebut saja kasus korupsi anggota parlemen, skandal asusila salah seorang menteri, hingga kehidupan melarat masyarakat perbatasan sudah pernah aku tulis dan tersebar hingga muncullah nama penaku di dalam ultimatum keluaran Dinas Informasi. Namun aku tak peduli dan terus menulis hingga pada suatu saat aku tertarik untuk menginvestigasi berita yang sempat dikejar oleh almarhumah ibuku. Berbekal data-data ibuku yang dijadikan arsip oleh Pelita Damar, akupun memulai untuk menyingkap tabir kasus pembantaian ini. Dari data ibuku terungkap bahwa yang bertanggungjawab atas kasus pembantaian itu adalah satuan Macan Hitam, satuan pembunuh ibuku. Maka pencarian data kuteruskan dengan mencari tahu jejak rekam satuan bengis ini, mencari alasan pendorong, hingga melakukan wawancara rahasia dengan keluarga korban. Dari hasil investigasi kutemukan fakta bahwa Indrajit, pamanku, ternyata adalah komandan pasukan Macan Hitam. Aku terkejut karena pamanku adalah orang yang bertanggungjawab atas kematian ibuku. Terbawa dendam, aku terlarut dalam usahaku menggali berbagai data dan informasi sampai akhirnya malam itu datang. Sekitar pukul sebelas malam sepulang dari minimarket, aku membuka pintu rumah dan tiba-tiba sebuah benda tumpul menghantam kepalaku dengan keras. Macan Hitam datang menerkam.
***
Aku mulai tersadar kembali dan teringat bahwa kini aku sedang disiksa di rumahku sendiri. Kudengar orang berkata di depanku.
“Manusia macam kau selalu berkoar bahwa pena lebih tajam daripada pedang. Mungkin dirimu belum pernah mengetahui betapa mematikannya senapan otomatis.” Kata orang bersenapan itu, mengutip perkataan Jenderal Douglas MacArthur. “Kamu pikir orang-orang macam kalian bisa memulai revolusi? Dasar bodoh! Rakyat tak perlu itu! Asalkan mereka bisa makan kenyang dan tidur nyenyak, mereka tidak butuh hal-hal muluk seperti ide kalian. Tapi kalian malah memaksa mereka untuk membaca sampah-sampah kalian. Maka sudah sepantasnya manusia macam kalian harus ditertibkan.”
Ia menutup kalimatnya dengan bunyi kokang senapan. Pada saat itu aku hanya bisa tertunduk, mata tertutup mengharap doa. Terlalu lemah karena siksaan. Bunyi tembakan yang beruntun menghembuskan sebuah kegelapan. Disusul oleh sunyi, lambat laun aku merasa seolah-olah jiwaku melayang di dalam kegelapan ini. Aku berada di tengah sebuah ketiadaan. Tiada raga, tiada daya, tiada masa, tiada cahaya. Lentera itu telah padam.
***
EPILOG

“Ibu, kematian itu apa?”
            “Eh? Ada apa Lesmana? Kok bertanya soal kematian?”
            “Soalnya aku tadi membaca puisi ayah yang berjudul ‘Padam’. Tapi isinya malah cerita orang mati. Lalu apa hubungan antara kematian dengan padam?”
            “Lesmana sayang, bayangkan jika nyawa manusia itu bagaikan api lentera. Ketika api ditiup, maka padamlah lentera itu. Sama seperti manusia ketika dihembus kematian. Ia akan merasakan kegelapan, cahaya hidupnya sirna. Tapi tahukah kamu? Meskipun jiwa manusia bisa mati, namun ide manusia tetaplah hidup di benak manusia-manusia yang lain. Karena sebuah ide tak bisa dibunuh, meskipun pemikirnya dibunuh. Ide adalah api yang tak dapat dipadamkan.”

TAMAT


Cerpen "Padam" mendapat Juara II dalam Lomba Cipta Cerita Pendek LPM Mercusuar Universitas Airlangga 2015.

Catatan: Cerpen ini adalah karya dari pemilik blog MasRoyalbecak. Segala bentuk plagiarisme dilarang keras dan sangat tidak dibolehkan. Penggunaan cerpen ini oleh pihak lain haruslah disertai dengan ijin dari sang penulis cerpen. Penulis juga mohon maaf apabila layout cerpen di blog ini terlihat tidak cantik dan kacau.

Comments

  1. keren,cerita yang bener bener nggak saya bayangkan bakal disekresikan oleh seorang pejuang asmara. aish....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).