Skip to main content

Celotehan 14 Februari


Sekali melawan, kemudian hilang dan terlupakan sepanjang masa.

Soeprijadi, merupakan seorang Shodanco di kesatuan militer Pembela Tanah Air (PETA). Menjadi komandan peleton di kesatuan PETA Blitar, Soeprijadi bersama kawan-kawannya di PETA melangsungkan gerakan pemberontakan terhadap otoritas Jepang. Melawan Jepang yang dikenal kejam dan bengis, bahkan melebihi rezim kolonial Belanda, merupakan sebuah hal yang dirasa sama saja dengan cari mati atau setor nyawa. Namun Soeprijadi dan kawan-kawannya tidak peduli. Mereka tetap optimis dan berpegang teguh pada sebuah keyakinan. Kekejaman terhadap bangsa sendiri harus dilawan dengan keberanian. Mati adalah urusan belakang.

Benar saja, meskipun pemberontakan 14 Februari 1945 mampu memakan korban dari pihak Jepang lumayan banyak (jangan tanya soal statistik, ini cerita orang). Namun pada akhirnya otoritas militer Jepang masih menunjukkan keperkasaan militernya. Pemberontakan berhasil dipadamkan. Sejumlah orang yang terlibat dalam pemberontakan menerima hukuman penjara dan hukuman mati. Sedangkan Soeprijadi, ia menghilang tanpa diketahui hidup dan matinya.

Presiden Soekarno sempat memberikan Soeprijadi jabatan Menteri Keamanan Rakyat sebagai bentuk penghargaan atas keberaniannya melawan Jepang. Namun jabatan setinggi itu tak mampu memanggil Soeprijadi untuk menampakkan diri di hadapan sekian banyak rakyat Indonesia. Mungkin untuk selamanya, sang Kala menyembunyikan Soeprijadi dari lembaran-lembaran sejarah bangsa Indonesia.

Soeprijadi terlupakan sepanjang masa. Hingga memasuki babak reformasi, hanya segelintir orang yang masih mengingat tanggal 14 Februari 1945 sebagai hari pemberontakan PETA di Blitar. Bahkan, jagad dunia maya Indonesia diramaikan dengan kontroversi hari Valentine. Kontroversi yang secara rutin dibahas oleh masyarakat internet Indonesia hingga dirasa cukup efektif untuk melupakan Soeprijadi, kawan-kawan PETA nya, beserta keberanian mereka. Orang Indonesia lebih senang mengutuk hari yang entah mengapa dikaitkan dengan hari hura-hura cinta dan pesta seks suka-suka. Di Indonesia, soal urusan manuver sekitar selangkangan selalu ramai dibahas. Sampai-sampai pahlawan sendiri dilupakan.

Di saat seperti ini, marilah kita redakan ketegangan. Rehatlah sejenak dari agitasi penolakan terhadap hari Valentine. Berikan waktu satu menit untuk merenungi aksi Soeprijadi dan kawan-kawan. Sebagai wujud penghormatan atas keberanian melawan kekejaman. Tanpa mereka, bisa saja mustahil bagi rakyat Indonesia untuk berani dan bangkit melawan segala ketidakadilan dan kebatilan di republik ini.

Mengheningkan cipta, mulai!

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).