Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2016

Surat Terbuka untuk Bapak dan Ibu Walikota Tersayang

Bapak dan Ibu Walikota yang budiman. Bila memang ada miskomunikasi di antara bapak dan ibu sekalian, saya mohon untuk segera diluruskan kembali. Alangkah sedih perasaan saya apabila kedua birokrat yang menjadi junjungan netizen Indonesia (baik yang jomblo maupun berpasangan) justru malah ada miskomunikasi. Saya khawatir kalau isu ini dimanfaatkan dengan brengsek oleh oknum-oknum yang tidak mau bertanggungjawab untuk dijadikan bahan perang bacotan antar penggemar masing-masing kepala daerah.

Serasa Dipecundangi Mantan (Provinsi)

Disclaimer: Tulisan kali ini tidak membahas soal mantan-mantan gandengan saya. Ini bukan postingan baper. Sekali lagi percayalah! Tidak ada muatan-muatan atau kepentingan-kepentingan yang bernada sendu mendayu-dayu. Entah mengapa, lagi-lagi kok saya bisa menemukan berita menarik pada sebuah koran yang sudah berkali-kali saya bahas isinya di blog ini. Dan ketemunya itu kok ya pada saat saya lagi makan. Kalau tidak saat makan nasi goreng tengah malam, ya pada saat santap siang di tengah panasnya kota Surabaya (tapi giliran hujan lebatnya Masya Allah... edan! ). Sebab-musababnya, tak lain dan tak bukan, karena di tempat-tempat yang menjadi jujugan saya untuk makan cuma ada koran itu saja (saya rasa tidak usah sebut merek lagi, he he he).

Lakon Bedil Keponakan dan Paman

Harus diakui bahwasanya bertemunya seseorang dengan sebuah inspirasi untuk menulis itu dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Bahkan saya ketika menikmati nasi goreng di warung kopi langganan, ndilalah kok saya menemukan sebuah berita di koran yang rasanya cukup menarik. Karena tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan, maka untuk saat ini saya akan ulas berita temuan saya yang berjudul “Bercanda dengan Senapan Angin, Pipi Paman Tertembak”. Gambar 1: Hubungan antara paman dengan keponakan tidak pernah seheboh ini.

Celotehan 14 Februari

Sekali melawan, kemudian hilang dan terlupakan sepanjang masa. Soeprijadi, merupakan seorang Shodanco di kesatuan militer Pembela Tanah Air (PETA). Menjadi komandan peleton di kesatuan PETA Blitar, Soeprijadi bersama kawan-kawannya di PETA melangsungkan gerakan pemberontakan terhadap otoritas Jepang. Melawan Jepang yang dikenal kejam dan bengis, bahkan melebihi rezim kolonial Belanda, merupakan sebuah hal yang dirasa sama saja dengan cari mati atau setor nyawa. Namun Soeprijadi dan kawan-kawannya tidak peduli. Mereka tetap optimis dan berpegang teguh pada sebuah keyakinan. Kekejaman terhadap bangsa sendiri harus dilawan dengan keberanian. Mati adalah urusan belakang.