Padam
Kini aku
terduduk dengan tangan terikat di belakang. Aku berada di dalam ruang tamu
rumahku, di kelilingi oleh orang-orang berpakaian hitam-hitam dan bertopeng
macam rampok. Satu orang berdiri dihadapanku, membawa senapan serbu. Sedang
tiga orang lainnya berdiri mengelilingi aku yang terduduk lemas dan pusing
akibat serangan popor senjata yang sempat mendarat di dahiku sesaat sebelum
akhirnya aku berada di posisi seperti sekarang ini.
“Hei Lesmana! Kamu kan yang menulis berita-berita fitnah
itu?” sahut orang yang memegang senapan.
“Fitnah? Yang kutulis itu justru sebuah kenyataan.”
“Mengelak saja terus! Toh sebentar lagi kau akan bernasib
sama seperti ibumu!”
“Kutebak
kalian dari Macan Hitam ya? Bagiku malah terlihat seperti gerombolan anjing galak
pemerintah. Tapi tak kusangka kalian sebaik ini, sampai mau mempertemukan aku
dengan ibuku.”
“Diam! Kamu dan kawan-kawanmu itu sudah sepantasnya
dibungkam! Berani-beraninya bikin tulisan sampah yang merusak pikiran rakyat!” Kata
salah satu orang misterius itu.
“Merusak? Yang kami lakukan hanyalah menulis dan
mengabarkan para rakyat tentang apa-apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini.
Justru majikan kalian yang selalu merusak rakyat dengan menyuapi mereka
berita-berita palsu pabrikan Dinas Informasi.”
“Kurang
ajar!” Bentak seorang di kananku yang dilanjutkan dengan tendangan yang
mendarat di pelipis kananku. Seketika kepalaku terasa pusing, pandanganku
mengabur, kemudian menjadi gelap. Di dalam kegelapan pandangan itu, aku
mengingat-ingat semua yang telah terjadi. Aku melayang menyusuri masa lalu.
Namaku
Lesmana. Pada umur 10 tahun aku menjadi anak yatim. Ayahku, Tirto Hadiwijaya,
meninggal dunia karena kanker paru-paru yang dideritanya sebagai akibat atas
kebiasaannya sebagai perokok berat. Ayahku adalah seorang penulis dan penyair,
namun hingga kematiannya aku belum pernah membaca satupun karya beliau. Namun
jika kuingat dari penuturan ibuku, sebagian besar karya ayahku merupakan
sajak-sajak ataupun cerita yang menyuarakan ide-ide kental soal kebebasan dan
penderitaan kaum kelas bawah, sebuah tema sayap kiri yang dibenci pemerintah
karena berbagai sebab. Karena idealisme ayah, ibu mengagumi dan mencintai
beliau. Namun karena itu pula, seluruh keluarga Hadiwijaya membenci ayahku. Pamanku,
Indrajit Hadiwijaya, mengatakan bahwa ayahku merupakan seseorang yang
menyimpang. Di saat semua pria di keluarga Hadiwijaya menjadi seorang polisi
atau tentara, ayahku justru menjadi seorang penyair yang tidak jelas. Keputusan
ayahku itulah yang dianggapnya sebagai tindakan yang mengecewakan keluarga
karena tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang penulis dan penyair yang
penghasilannya tidak tentu. Istri Indrajit juga ikut mencemooh dengan berkata
betapa bodohnya ayahku yang tidak memiliki penghasilan stabil. Ia juga
membandingkan ayahku dengan suaminya yang menjadi seorang opsir tinggi di Dinas
Kepolisian dengan penghasilan yang tetap, dapat pensiun dan tunjangan-tunjangan
lainnya. Betapa dongkolnya ibu pada waktu itu hingga pada akhirnya ibuku, Denok
Pujanegara, memutuskan hubungan dengan keluarga Hadiwijaya. Salah satu bukti
keputusan ibuku adalah dengan digantinya kata “Hadiwijaya” menjadi
“Tirtoatmojo” yang berarti anak Tirta. Resmilah kini namaku menjadi Lesmana
Tirtoatmojo.
Ayahku memang
sudah meninggal, namun kisah hidupku tetaplah berjalan. Tanpa ayah, aku hanya
diasuh oleh sang ibu yang kini berperan sebagai orang tua tunggal. Jelas hidup
kami sepeninggal ayah terasa lebih susah dan berat. Penghidupan kami hanya
bersumber dari pekerjaan ibuku sebagai wartawati koran yang tidak berpamor. Namun
bisa kulihat betul betapa besar dedikasi beliau terhadap pekerjaan itu. Ibuku
selalu berkata-kata soal kebebasan berekspresi dan kebenaran fakta yang belum
bisa aku cerna pada saat itu. Tidak hanya bercerita, beliau selalu menyuruhku
untuk membaca berbagai macam literatur, khususnya karya-karya almarhum ayahku,
dan memintaku untuk menyuratkan bayang-bayang yang tersirat di dalam benakku
menjadi sebuah karya cerita. Jujur saja, pada saat itu aku merasa malas dan
tidak menemukan alasan yang jelas dari rutinitas terpaksa itu. Seolah-olah ibu
memaksaku untuk menjadikan aku seorang penulis seperti ayahku. Namun beliau
selalu berdalih bahwa suatu saat nanti didikan itu akan sangat berguna.
Namun didikan
itu berakhir ketika ibuku meninggalkan dunia ini tepat ketika aku berusia 16
tahun. Beliau ditemukan mengambang di atas sungai dengan kondisi tak bernyawa setelah
hampir seminggu dinyatakan menghilang. Tak hanya aku, rekan-rekan ibuku juga
terkejut mendengar kabar ini. Seketika rumahku ramai dikunjungi oleh
rekan-rekan ibuku, termasuk salah satunya adalah Om Pamuji. Ketika ia
menemuiku, ia berkata bahwa ibuku sengaja dibunuh karena mencoba mengorek-orek
kasus pembantaian sekelompok demonstran yang protes di area perkebunan milik
pemerintah. Diduga pelaku pembantaian tersebut adalah polisi yang menjaga
perkebunan tersebut. Selain itu, Om Pamuji juga berkata sesuatu soal ibuku.
“Denok menggali informasi tentang kasus itu seolah-olah
ia sedang menggali kuburnya sendiri. Dan inilah yang terjadi sekarang, ibumu kini
meninggalkan kita semua. Semoga ibumu beristirahat dengan tenang di alam sana.”
Aku
tidak menanggapi perkataan Om Pamuji. Pikiranku masih mengambang tak tentu arah.
“Tapi itulah konsekuensi yang harus kami terima.” Lanjut
Om Pamuji tanpa kuminta. “Kami tidak ingin melihat para rakyat hidup disetir
oleh kabar-kabar pabrikan pemerintah yang seringkali bertolak belakang dengan
fakta di lapangan. Demi sebuah kebenaran, kami rela melawan arus demi
memperjuangkan kebebasan kami dalam menyebarkan kabar-kabar yang nyata dan
tanpa rekayasa propaganda pemerintah.”
Rekayasa?
Propaganda? Aku masih tidak paham dengan apa yang dimaksud Om Pamuji. Namun
singkat cerita, Om Pamuji selanjutnya menjadi orang tua angkatku. Dan ia
mengenalkanku pada sebuah komunitas bawah tanah yang kelak akan menjadi
tempatku mengisi hidup.
***
Pelita Damar,
itulah nama komunitas bawah tanah yang diperkenalkan Om Pamuji kepadaku.
Komunitas ini beranggotakan wartawan, sastrawan, seniman, hingga kaum
cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebenaran fakta. Setiap
Lentera, sebutan untuk anggota Pelita Damar, dituntut untuk bekerja secara
rahasia karena pekerjaan mereka tak lepas dari mengkritik pemerintah. Karena di
negeri ini, berani mengkritik maka nyawa taruhannya. Selain itu, Dinas
Informasi selalu geram dan menuding komunitas ini bersifat subversif dan menyesatkan
rakyat. Aku bergabung di komunitas ini pada usia 25 tahun. Dari komunitas
inilah aku paham mengapa ibuku selama hidupnya selalu membenci pemerintah. Dari
yang kuketahui dari para Lentera, ternyata selama ini pemerintah selalu
berusaha menutupi boroknya dengan berita-berita pabrikan Dinas Informasi. Pemberitaan
yang beredar selalu menonjolkan pembangunan yang pesat dan membanggakan,
makmurnya seluruh rakyat dan terjaminnya keamanan dan ketentraman negeri ini.
Namun berita-berita semacam itu justru menutupi dosa-dosa pemerintah selama ini
seperti kamp buruh yang berisi para tahanan politik, penambangan besar-besaran
yang disertai dengan perbudakan, dibungkamnya para pengkritik pemerintah, dan
bahkan pembantaian sekelompok masyarakat miskin yang memprotes pemerintah oleh
Dinas Kepolisian. Tetapi peristiwa-peristiwa tersebut selalu tertutup dan jauh
dari pengetahuan masyarakat. Kaki tangan pemerintah sangat berguna dalam
membungkam siapa saja yang dianggap merugikan pemerintah. Salah satu korbannya
adalah almarhumah ibuku sendiri yang kami (para Lentera) yakini dibunuh oleh
Macan Hitam, satuan Dinas Kepolisian yang dikenal dengan metodenya yang kejam
dan rahasia.
Sebagai
seorang Lentera, aku sudah menulis dan menyebarkan beberapa berita borok
pemerintah yang selalu tertutup dengan rapi oleh Dinas Informasi. Sebut saja
kasus korupsi anggota parlemen, skandal asusila salah seorang menteri, hingga
kehidupan melarat masyarakat perbatasan sudah pernah aku tulis dan tersebar hingga
muncullah nama penaku di dalam ultimatum keluaran Dinas Informasi. Namun aku
tak peduli dan terus menulis hingga pada suatu saat aku tertarik untuk
menginvestigasi berita yang sempat dikejar oleh almarhumah ibuku. Berbekal
data-data ibuku yang dijadikan arsip oleh Pelita Damar, akupun memulai untuk
menyingkap tabir kasus pembantaian ini. Dari data ibuku terungkap bahwa yang
bertanggungjawab atas kasus pembantaian itu adalah satuan Macan Hitam, satuan
pembunuh ibuku. Maka pencarian data kuteruskan dengan mencari tahu jejak rekam
satuan bengis ini, mencari alasan pendorong, hingga melakukan wawancara rahasia
dengan keluarga korban. Dari hasil investigasi kutemukan fakta bahwa Indrajit,
pamanku, ternyata adalah komandan pasukan Macan Hitam. Aku terkejut karena
pamanku adalah orang yang bertanggungjawab atas kematian ibuku. Terbawa dendam,
aku terlarut dalam usahaku menggali berbagai data dan informasi sampai akhirnya
malam itu datang. Sekitar pukul sebelas malam sepulang dari minimarket, aku
membuka pintu rumah dan tiba-tiba sebuah benda tumpul menghantam kepalaku
dengan keras. Macan Hitam datang menerkam.
***
Aku
mulai tersadar kembali dan teringat bahwa kini aku sedang disiksa di rumahku
sendiri. Kudengar orang berkata di depanku.
“Manusia
macam kau selalu berkoar bahwa pena lebih tajam daripada pedang. Mungkin dirimu
belum pernah mengetahui betapa mematikannya senapan otomatis.” Kata orang
bersenapan itu, mengutip perkataan Jenderal Douglas MacArthur. “Kamu pikir
orang-orang macam kalian bisa memulai revolusi? Dasar bodoh! Rakyat tak perlu
itu! Asalkan mereka bisa makan kenyang dan tidur nyenyak, mereka tidak butuh
hal-hal muluk seperti ide kalian. Tapi kalian malah memaksa mereka untuk
membaca sampah-sampah kalian. Maka sudah sepantasnya manusia macam kalian harus
ditertibkan.”
Ia menutup
kalimatnya dengan bunyi kokang senapan. Pada saat itu aku hanya bisa tertunduk,
mata tertutup mengharap doa. Terlalu lemah karena siksaan. Bunyi tembakan yang
beruntun menghembuskan sebuah kegelapan. Disusul oleh sunyi, lambat laun aku
merasa seolah-olah jiwaku melayang di dalam kegelapan ini. Aku berada di tengah
sebuah ketiadaan. Tiada raga, tiada daya, tiada masa, tiada cahaya. Lentera itu
telah padam.
***
EPILOG
“Ibu,
kematian itu apa?”
“Eh? Ada apa Lesmana? Kok bertanya soal kematian?”
“Soalnya aku tadi membaca puisi ayah yang berjudul
‘Padam’. Tapi isinya malah cerita orang mati. Lalu apa hubungan antara kematian
dengan padam?”
“Lesmana sayang, bayangkan jika nyawa manusia itu
bagaikan api lentera. Ketika api ditiup, maka padamlah lentera itu. Sama
seperti manusia ketika dihembus kematian. Ia akan merasakan kegelapan, cahaya
hidupnya sirna. Tapi tahukah kamu? Meskipun jiwa manusia bisa mati, namun ide
manusia tetaplah hidup di benak manusia-manusia yang lain. Karena sebuah ide
tak bisa dibunuh, meskipun pemikirnya dibunuh. Ide adalah api yang tak dapat
dipadamkan.”
TAMAT
Cerpen "Padam" mendapat Juara II dalam Lomba Cipta Cerita Pendek LPM Mercusuar Universitas Airlangga 2015.
Catatan: Cerpen ini adalah karya dari pemilik blog MasRoyalbecak. Segala bentuk plagiarisme dilarang keras dan sangat tidak dibolehkan. Penggunaan cerpen ini oleh pihak lain haruslah disertai dengan ijin dari sang penulis cerpen. Penulis juga mohon maaf apabila layout cerpen di blog ini terlihat tidak cantik dan kacau.
nice story :)
ReplyDeletekeren,cerita yang bener bener nggak saya bayangkan bakal disekresikan oleh seorang pejuang asmara. aish....
ReplyDeleteAh masak
ReplyDelete