Pada
suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa
sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga
kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah
warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas
di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan
hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya
datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu
berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu
ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri
tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu.
Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).
“Mas, beli susu kedelainya dong. Sebelas ribu dapat tiga.”
kata gadis kecil itu.
“Eh, sebelas ribu ya? Kayaknya enggak deh dek.” jawabku dengan
nada datar.
Aku
mencoba menjawab sehalus mungkin, takut melukai perasaan gadis kecil itu. Pada
saat itu kuakui memang sama sekali tidak berminat untuk membeli susu kedelai. Namun
bukannya langsung pergi, gadis kecil itu justru membalas ucapanku. Sebuah
tindakan yang tidak kuduga sebelumnya.
“Beli satu aja deh mas gak apa-apa. Lima ribu aja mas
satu bungkus.” Balas gadis kecil itu dengan nada memelas.
Lantas
kupandang raut wajah gadis kecil itu. Kemudian kualihkan pandanganku kearah ibunya,
memelas juga rupanya. Seolah-olah raut wajah yang penuh lelah itu berusaha
menyampaikan sebuah cerita kepadaku, cerita mengenai bagaimana mereka berdua
menghadapi berbagai penolakan atas setiap bungkus susu kedelai yang mereka
jajakan. Mungkin saja mereka ditolak dengan perkataan yang santun, atau dengan
kalimat yang tidak acuh, dan bahkan bisa jadi mereka sempat dihardik dengan
perkataan yang kasar dan menegaskan ketidakpedulian. Penolakan, sehalus apapun
kata-kata yang digunakan demi menjaga perasaan sang tertolak, namun itu semua
sama sekali tidak membantu. Bahkan tetap saja terasa menyakitkan hati, karena
harapan hati telah digugurkan dengan sebuah penolakan. Aku juga pernah dalam
beberapa kesempatan menerima sebuah penolakan. Bahkan baru-baru ini aku
merasakan penolakan itu melalui sebuah bahasa ketidakpedulian dari seseorang
yang membuatku jatuh hati, meskipun aku tidak pernah memintanya untuk menjadi
kekasihku. Apapun penyebabnya, bagaimanapun caranya, baik dengan perkataan
maupun sikap diam, rasa penolakan itu tetap sama saja. Permintaanku tidak
dikabulkan, harapanku dipatahkan, hati siapa yang tidak terluka menerima
perlakuan seperti itu?
Sekejap aku merasa ada sebuah persamaan antara apa yang
kualami dengan apa yang dialami oleh kedua orang yang masih berdiri
dihadapanku, menunggu kepastian atas jawabanku. Kami sama-sama merasakan
kekecewaan yang disebabkan oleh bahasa-bahasa halus penolakan. Aku “ditolak”
oleh gadis yang kusukai karena mungkin saja dia tidak menghendaki konsekuensi
yang muncul apabila kami menjadi lebih dekat secara emosional. Itu adalah
sebuah kondisi yang tidak bisa aku persalahkan lebih jauh. Lantas bagaimana
dengan ibu dan anak yang berada di depanku saat ini? Sepanjang perjalanan
mereka menjajakan susu kedelai, berbagai penolakan mereka terima. Seolah-olah
seluruh semesta tidak ingin mengabulkan harapan mereka. Sebuah kondisi hidup
yang datang begitu saja dan mereka tidak berdaya untuk menyalahkan kondisi mereka
sendiri. Lantas kondisi macam apakah yang sedang mereka hadapi sehingga mereka
memilih untuk menjajakan susu kedelai? Berbagai suara berseliweran di dalam
otakku, memberitahu apa saja alasan mereka. Bisa saja mereka menjajakan susu
kedelai demi menopang keuangan keluarga mereka, atau mungkin uang hasil
penjualan susu kedelai itu digunakan untuk membiayai pendidikan gadis kecil
yang berdiri di depanku, dan bisa saja mereka bekerja seperti itu untuk melunasi
hutang-hutang keluarga mereka. Tak ingin mendengarkan suara-suara itu lebih
lanjut, aku memutuskan untuk membeli dagangan mereka dengan harapan semoga apa
yang aku lakukan bisa membantu mereka.
“Kalo gitu, beli satu aja deh susunya.”
“Mau rasa apa mas? Yang coklat apa yang biasa?” balas
sang ibu, sambil mengecek barang dagangannya di dalam keranjang sepeda.
“Yang coklat aja deh bu.” Jawabku sambil mengambil dan
membuka dompet. Mungkin Tuhan menunjukkan kuasa-Nya pada saat aku membuka
dompet. Aku melihat ada selembar uang sepuluh ribu dan dua keping koin senilai
lima ratus. Tanpa berpikir panjang, seketika aku meralat perkataanku yang baru
saja terucap.
“Eh, tadi sebelas ribu dapat berapa? Tiga ya?”
“Iya mas, ada apa? Jadi beli tiga?” balas gadis kecil
itu.
“Iya dek, jadi beli tiga deh susunya.”
“Terus ini mau rasa apa aja mas?” tanya sang ibu.
“Hmm… Dua coklat dan satu yang biasa ya bu.”
Kemudian transaksi itu berlangsung. Sebelas ribu rupiah
yang semula kupegang berpindah tangan, bertukar posisi dengan tiga bungkus susu
kedelai pesananku yang dibungkus di dalam satu tas kresek putih berukuran kecil.
Setelah mengucap terima kasih, gadis kecil dan ibunya langsung melangkah pergi
dari hadapanku. Sempat kulihat mereka menjajakan dagangan mereka kepada orang
yang duduk di belakangku, namun mereka langsung pergi karena orang yang berada
di belakangku tidak ingin membeli dagangan ibu dan anak itu. Mungkin saja
mereka memilih untuk langsung meninggalkan orang itu karena mereka merasa
setidaknya ada yang membeli dagangan mereka. Kemudian aku menikmati makanan yang
kupesan hingga habis, kemudian membayar makanan dan pergi menuju kos. Tiba-tiba
telepon genggamku berbunyi ketika aku baru saja ingin menyalakan mesin sepeda
motorku. Rupanya kawanku yang memanggil. Rupanya ia masih di kampus dan masih
belum ada orang yang menjemputnya pulang. Langsung saja aku mendatanginya dan
mengantarkannya pulang sembari mengambil barangku yang sempat kutitipkan
padanya, kemudian pergi menuju tempat kosku.
Sepanjang
perjalanan pulang, aku mengingat-ingat kembali urutan-urutan kejadian pada
petang itu. Seorang gadis kecil beserta ibunya, mereka menjajakan susu kedelai
dengan wajah penuh lelah, membayangkan apa saja penolakan yang mereka terima,
mengingat bahwa akupun tidak luput dari sebuah penolakan, hingga pada akhirnya
aku memilih untuk membeli dagangan mereka. Kemudian aku bertanya kepada diriku
sendiri. Mengapa aku membeli dagangan mereka meskipun sebenarnya aku tidak ada
keinginan untuk membeli susu kedelai? Apakah aku didorong oleh rasa kasihan
yang timbul karena melihat wajah lelah mereka? Atau justru karena sama-sama
merasakan sebuah penolakan dalam hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu terus
terngiang-ngiang hingga akhirnya aku menemukan jawaban di dalam pikiranku
sendiri, dan rupanya cukup memuaskan bagiku. Mereka berdua adalah manusia yang
sama sepertiku. Namun mereka berada di dalam sebuah kondisi hidup yang terkesan
tidak beruntung. Mereka harus membanting tulang demi mempertahankan
kelangsungan hidup keluarga mereka. Namun jalan mereka tidak mudah dan sama
sekali tidak menyenangkan. Berbagai macam penolakan mereka terima. Dari
perkataan halus hingga hardikan kasar menghunjam batin mereka. Seolah-olah
mereka dikecewakan oleh semesta. Rasa tanggung jawab dalam membantu sesama
manusia menjadi sebuah motor yang mampu menggerakkan hatiku untuk membantu
meringankan mereka. Bahkan aku berharap dengan upayaku membantu mereka,
secercah harapan muncul dari hati mereka. Di dunia yang kejam ini, biarlah aku
membantu sebisaku. Kalian berdua memiliki hak yang sama denganku untuk hidup
bahagia. Aku tidak ingin membiarkan mereka terinjak-injak dengan rasa kekecewaan
atas kehidupan dunia, sebagaimana keluarga dan kawan-kawanku yang selama ini
selalu membantu dan menyertaiku dalam menghadapi masalah, suka dan duka. Kita
semua berhak untuk hidup bahagia dan positif, tak peduli seberapa banyak dan
berat masalah-masalah hidup masing-masing. Namun jangan biarkan masalah-masalah
itu mematikan kemanusiaan kita. Karena dari segala permasalahan hidup itulah,
umat manusia ditempa kualitasnya untuk menjadi lebih baik dari masa lalu
mereka. Dan untuk gadis kecil dan ibu yang menjajakan susu kedelai kepadaku,
aku hanya bisa berdoa semoga kalian semua diberikan kekuatan hati dalam
menghadapi berbagai permasalahan di dalam kehidupan kalian. Segala badai pasti
berlalu, secercah sinar selalu menunggu di ujung terowongan yang gelap, dan
selalu ada hasil manis bagi mereka yang mampu bertahan dalam merasakan pahitnya
kehidupan. Semoga selalu berbahagia!
Surabaya, 13 November
2015.
Pukul 00:52 WIB.
Catatan penulis: Entah mengapa, tulisan ini terlihat tidak rapi ketika dibaca di blog ini. Penulis sendiri tidak tahu alasan pasti dari kacaunya indentasi tiap paragraf. Penulis memohon maaf apabila kekacauan ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pembaca.
Comments
Post a Comment