I just watched the first episode
of this series and my mind is blown.
Awal-awal menonton episode
pertama, saya mengira bahwa gambaran yang ditampilkan adalah anak-anak sekolah
menengah beserta kenakalan-kenakalannya. Namun saya menyadari bahwa
kenakalan-kenakalan yang disajikan di dalam serial tersebut tidaklah biasa.
Di samping beberapa aspek dalam
seri yang tergolong tabu (bagi masyarakat Asia Tenggara kebanyakan khususnya),
di episode ini justru saya menemukan sebuah kenakalan yang dibawakan dengan
cerdas oleh seorang remaja "uculan" yang (secara tidak langsung)
mengkritisi kepatuhan buta para siswa terhadap peraturan-peraturan di sekolah.
Remaja tersebut digambarkan
(setidaknya di dalam episode pertama) sebagai remaja yang bertindak sesuka hati
namun berjiwa kritis. Ia mendapati bahwa siswa mematuhi peraturan sekolah yang
berlaku secara bertahun-tahun begitu saja. Dan pihak guru tidak mampu
memberikan jawaban atas pertanyaannya tentang apa alasan dari pemberlakuan
aturan tersebut hingga harus dipatuhi.
Hingga ketidakpuasan akan respon
yang ia terima membuat ia berada di posisi memberontak. Ia menginisiasi
kampanye "bersekolah tanpa seragam" di sekolahnya. Alasannya
sederhana, ia hanya meminta jawaban atas alasan dari suatu kepatuhan. Kontan,
kampanye tersebut diikuti oleh banyak siswa dan memantik amarah para guru di
sekolah tersebut.
Lantas bagaimana "drama
pemberontakan" tersebut berakhir? Apakah dengan hukuman yang berat?
Sebaliknya, "pemberontakan" sekelompok siswa tersebut berakhir dengan
kemunculan sesosok guru yang mampu memberikan jawaban yang didukung dengan argumen
yang kuat. Remaja tersebut merasa puas dan para siswa yang memberontak pun
dengan sukarela menerima konsekuensi tindakan mereka berupa hukuman
membersihkan gedung olahraga.
Narasi saya di atas mungkin
terkesan berlebihan. Ini hanya cerita tentang seorang siswa yang kritis. Namun
yang membuat saya menganggap hal tersebut istimewa adalah sebagai orang
Indonesia, saya belum pernah menonton serial drama remaja yang menggambarkan
jiwa kritis secara apik seperti di dalam episode tersebut. Memang dapat dikatakan
sangat jarang untuk menemukan seorang siswa yang mampu mendekonstruksi
pandangan seseorang akan suatu peraturan yang berlaku selama bertahun-tahun.
Namun di manapun, yang namanya siswa kritis itu selalu ada. Namun drama remaja
di Indonesia jarang sekali (atau bahkan tidak ada) yang mengangkat sisi kritis
remaja Indonesia.
Apakah memiliki motor sport tergolong sebagai prestasi bagi anak SMA di Indonesia? Saya rasa tidak. (Sumber: oketekno.com) |
Di dalam drama remaja Indonesia
(terlebih yang akhir-akhir ini ditayangkan), remaja-remaja usia sekolah
digambarkan sebagai sekelompok orang yang menikmati kisah cinta dan hura-hura.
Jangankan berprestasi (akademik maupun non-akademik), kegiatan belajarnya saja
tidak terlihat. Hampir tidak ada bedanya dengan remaja yang tidak sekolah.
Dalam aspek ini, Thailand
lebih unggul daripada Indonesia. Kebanyakan film maupun serial remaja Thailand
menggambarkan bagaimana siswa Thailand berkegiatan selayaknya siswa sekolah
(belajar dan berprestasi) namun dibumbui dengan romansa-romansa yang berkelas
dan tidak semurah drama picisan Indonesia. Setidaknya di dalam segmen drama
remaja, Indonesia kualitasnya kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand yang
notabene saudara satu kawasan regional.
Lantas, apakah serial drama yang
saya bahas di dalam tulisan ini layak ditonton? Bagi saya, serial ini tidak
cocok bagi khalayak yang masih berpikiran tertutup dan konservatif akut. Serial
tersebut membawakan hal-hal yang tabu (bagi masyarakat Timur, namun tidak bagi
Barat) seperti tawuran, seks, hingga orientasi seksual yang berbeda. Namun jika
anda adalah orang yang mampu menerima hal-hal tersebut, atau setidaknya anda
mampu memilah dengan bijak dan mampu menemukan pesan hikmah yang sesungguhnya,
serial ini untuk anda. Khususnya bagi yang peduli akan perkembangan remaja.
(Cuplikan gambar diambil dari Serial Drama Hormones Episode 1 Musim 1).
Surabaya, 25 Januari 2017, 11:15.
Comments
Post a Comment