Siapa yang
masih asing dengan kata selfie? Tidak perlu saya lakukan survei atau jajak
pendapat, semua orang yang mampir (atau tersesat) untuk membaca tulisan ini
setidaknya tahu apa itu selfie. Bahkan sebagian besar pasti pernah melakukan
cara mengambil foto diri dengan menggunakan gawai pribadi maupun milik kawan
sendiri. Meskipun awalnya malu-malu, namun lama-kelamaan seseorang akan
terdorong untuk mengulangi hal serupa lagi dan lagi. Tentu saja jika mendapat
respon positif. Jika respon yang didapat negatif, maka pilihannya ada dua.
Entah itu merasa tahu diri dan berhenti, atau pasang muka tebal dan mengulangi
langkah yang serupa. Kiranya ini yang menyebabkan kita mampu menyaksikan
berbagai macam foto selfie rasa gado-gado di media sosial.
Salah satu
pendapat tentang selfie muncul dari seorang James Franco, aktor pemeran Harry
Osborne dalam film trilogi Spiderman besutan Sam Raimi. Melalui artikel
berjudul “The Meanings of the Selfie” pada situs daring New York Times, James
Franco menuturkan fenomena selfie berdasarkan pengalaman pribadinya sebagai
selebritis yang sering mengunggah foto-foto selfie-nya melalui akun Instagram. Ia
berpendapat bahwa di jaman sekarang, menjadi pusat perhatian di dalam media
sosial adalah suatu hal yang dianggap sangat penting, bahkan wajib. Untuk
memperkuat argumennya, Franco kemudian berpendapat seperti ini:
“In this age of too much information at a click of a button, the power to attract viewers amid the sea of things to read and watch is power indeed. It’s what the movie studios want for their products, it’s what professional writers want for their work, it’s what newspapers want — hell, it’s what everyone wants: attention. Attention is power.”
Bagi para pembaca
yang tidak ingin repot-repot mencerna kutipan di atas, maka saya ambil kalimat
kuncinya. Attention is power. Menjadi pusat perhatian memberikan sebuah
kekuatan tersendiri.
Tentunya,
konsep ini berlaku bagi selebritis yang punya banyak pengikut seperti James
Franco, atau paling tidak mbak-mbak atau mas-mas yang nge-hits di media sosial
juga merasakan betapa nikmatnya kekuatan yang dihasilkan dari sebuah-dua buah
foto selfie yang diunggah. Beda lagi kalau foto yang diunggah di media sosial
itu foto orang biasa. Yang memberi tanda “hati” cuma orang itu-itu saja. Tidak
ada penggemar sehingga kekuatan seorang pusat perhatian tidak akan bisa
dirasakan oleh orang biasa. Yang saya maksudkan di sini adalah; semakin
terkenal dirimu, maka semakin besar pulalah kesan kuat yang melekat pada
dirimu.
Pendapat
James Franco tersebut sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abraham
Maslow. Psikolog asal Amerika Serikat tersebut terkenal dengan teorinya yang
membahas tentang hirearki kebutuhan manusia. Menurut teori ini, puncak
tertinggi pada sebuah piramida kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri.
Manusia senantiasa ingin menunjukkan hasil karya dan usahanya demi mendapatkan
timbal balik berupa respon maupun pujian. Dengan demikian, maka terasa lengkaplah
eksistensi manusia tersebut di hadapan orang banyak. Maka saya bisa mengatakan
bahwa fenomena selfie ini tidak hanya berlaku pada unggahan foto belaka. Bahkan
segala kegiatanmu di media sosial juga mengalami fenomena yang sama apabila
dipandang melalui kacamata aktualisasi diri.
Memang
wajar dan manusiawi apabila fenomena tersebut menjangkiti sebagian besar umat
manusia. Namun hal ini bisa menjadi sebuah masalah yang mampu memberikan efek
samping yang lebih fatal daripada menjadi korban bullying. Berita buruk akan
muncul sebagai sebuah konsekuensi apabila kita sebagai manusia yang haus akan
aktualisasi diri tidak mampu melihat situasi dan kondisi yang tepat untuk
melepaskan dahaga di sosial media.
Atau skenario
yang lebih buruk: Pelaku salah sikon adalah pemangku jabatan yang berkaitan
dengan masalah pertahanan dan keamanan negara.
Sudah kita
pahami bersama bahwa segala hal yang menyangkut dengan pertahanan dan keamanan
negara adalah hal yang sensitif dan lumrah apabila negara menghendaki
kerahasiaan. Untuk menjamin keselamatan negara beserta kepentingannya,
kerahasiaan menjadi salah satu langkah yang diambil demi menghindari bocornya
informasi. Peran Fog of War sangatlah penting di sini. Singkatnya, yang
dimaksud dengan Fog of War adalah sebuah konsep ketidakpastian yang mengaburkan
persepsi suatu pihak yang berkonflik dengan pihak lainnya. Sehingga, Fog of War
memberikan sebuah pelindung rahasia sekaligus membutakan kedua belah pihak
dalam melihat lawan.
Celakanya,
Menteri Pertahanan dan beberapa perwira TNI melakukan sebuah blunder yang mampu
menghilangkan Fog of War dalam kasus disanderanya 10 awak kapal WNI oleh
kelompok Abu Sayyaf. Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, menyatakan
bahwa Indonesia tidak akan membayar uang tebusan (Baca “Menhan Ingin 10 WNI yang Disandera Abu Sayyaf Dibebaskan Tanpa Bayaran” di laman Kompas). Sebuah
pernyataan yang terkesan berani, namun di sisi lain malah terkesan menunjukkan
rencana pemerintah kepada kelompok penyandera. Seolah tak cukup, cuitan
“Ijinkan Kami Pergi Berjuang” oleh akun Twitter Menhan kita ini mampu
menimbulkan tafsir bahwa opsi yang dipilih pemerintah cenderung ofensif.
Mengapa di saat genting seperti ini, pejabat sekelas Menhan malah koar-koar di
media sosial. Setidaknya, tunggu kasusnya selesai kalau mau update status
perihal kasus ini. Sungguh, mentalitas selfie merambah hingga kalangan pejabat.
Selain itu,
situs Media Indonesia melansir berita berjudul “TNI Bersiap Bebaskan Sandera.”
Salah seorang perwira TNI membeberkan secara detail sejumlah alutsista yang
dikerahkan untuk operasi pembebasan sandera. Bahkan seorang perwira lainnya
mengklaim akan memimpin operasi pembebasan sandera. Seolah-olah, dengan
pernyataan-pernyataan seperti itu akan memunculkan citra seorang kesatria yang
gagah berani menerjang musuh negara sehingga mampu menarik simpati orang-orang
yang membaca pernyataan tersebut. Mirip dengan orang mengunggah foto selfie
demi mendapatkan “hati” di Instagram. Justru ironisnya, mereka telah berhasil
menghilangkan Fog of War. Kekuatan sendiri dibeber di hadapan umum, termasuk
kelompok Abu Sayyaf sendiri.
Padahal,
kelompok Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan Daesh tersebut memiliki reputasi
yang sangat mengerikan dalam urusan negosiasi sandera. Ada kesalahan sedikit
saja dalam negosiasi, bisa-bisa nyawa sandera melayang (Abu Sayyaf pernah
memenggal kepala sandera asal Malaysia pada November 2015). Jika kelompok Abu
Sayyaf membaca dan menerjemahkan pernyataan-pernyataan sembarangan tanpa tedeng
aling-aling tersebut sebagai sebuah pernyataan yang agresif, tidak ada yang
tahu apa yang akan dialami oleh para sandera tersebut. Kasihan keluarga sandera
yang sedang ketar-ketir di rumah.
Sekedar
tips dari penulis sebagai penutup. Bolehlah selfie untuk kepuasan pribadi, namun
jangan sampai keracunan mentalitas selfie yang berlebihan. Serta ketahuilah
saat yang tepat dan pantas untuk ber-selfie ria. Baik itu dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan. Salah-salah, nyawa orang bisa melayang.
(Dimuat pertama kali oleh akun LINE LPM Mercusuar Unair).
Comments
Post a Comment