Hari Kartini dirayakan oleh sejumlah instansi di
Indonesia dengan perintah mengenakan kebaya/pakaian tradisional lainnya.
Sesederhana itu. Tanpa perlu mengadakan kajian mendalam ataupun sekedar membaca
cucuran hati dan perasaan Kartini yang kelak menjadi sebuah ‘magnum opus’
berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ (menurut saya, judul ini akan terasa
cocok jika digunakan sebagai motto PLN). Seolah-olah Kartini adalah seorang
tokoh penggagas pakaian tradisional. Sebagai sebuah simbol resistensi terhadap
gelombang modernisasi fashion-fashion modern.
Kebanyakan orang-orang di Indonesia mengetahui
siapa itu Kartini dari buku pelajaran sejarah di sekolah yang isinya udah
diringkas manis. Ujung-ujungnya, masyarakat paling banter mengerti bahwa Kartini
menulis surat dan seketika menjadi seorang ‘Putri Sejati’. Intinya, Kartini itu
pahlawan wanita Indonesia. Mengalahkan pamor Rohana Kudus sebagai salah seorang
pelopor jurnalis wanita. Sedangkal itulah sehingga banyak orang yang tidak mau
repot-repot menganalisis ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ untuk mengerti apa yang
sebenarnya diinginkan seorang putri Jepara. Padahal, wanita kan ingin
dimengerti? He he he.
Atas dasar itulah, saya memilih untuk tidak ikut
merasakan euforia Kartini. Meskipun saya tidak mau pakai kebaya, namun sungguh
bukan itu alasannya. Sejujurnya saya belum pernah membaca buku ‘Habis Gelap
Terbitlah Terang’. Bisa disimpulkan bahwa saya tidak tahu apa-apa perihal
asumsi-asumsi Kartini secara langsung tanpa perantara. Buat apa saya merayakan
sesuatu yang tidak saya ketahui dasarnya?
“Ibu kita Kartini…”
Huss! Sejak kapan Kartini kamu klaim jadi ibumu?
Dasar manusia sampul! Pemahamanmu cuma sampai di dengkul! Jadinya tumpul!
Omong-omong, tingkat kekerasan terhadap perempuan
di Indonesia bagaimana kabarnya? Apakah penggunaan kebaya mampu mengurangi
angka kekerasan?
Surabaya, 21 April 2016, 10:17.
Comments
Post a Comment