Skip to main content

Siang Hari di Sebuah Bangku Kantin

Siang setelah waktu salat Jumat, aku bertemu dengan seorang wanita di kantin fakultas tetangga. Ia duduk bersama kawan-kawannya yang lain di meja tepat di depan aku duduk dan menyantap makanan pada saat itu. Kecurigaan awal muncul ketika beberapa kawannya yang wanita, termasuk ia, melirik ke arah belakang. Aku merasa mungkin mereka melirikku, atau orang lain di belakangku. Aku tak mengacuhkan hal itu pada awalnya. Namun kecurigaan bertambah ketika aku pergi memesan minum tak jauh dari tempatku duduk. Wanita itu juga beranjak dari tempat duduknya untuk memesan sebuah makanan, yang jaraknya tak jauh dari tempatku memesan minum. Ketika tak sengaja melihat kearahnya, terlihat beberapa detik kemudian pandangannya tertuju padaku. Agar tak terlihat sebagai seorang penguntit, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk beberapa saat. Detik berikutnya, rasa penasaran muncul dan kulihat kembali dirinya. Ia masih menatapku. Aneh. Tidak biasanya seorang wanita yang tak kukenal melihatku lebih dari lima detik. Kulihat lagi dirinya. Wanita berambut sedang dengan semir coklat yang tidak merata, kacamata, wajahnya yang manis, tubuhnya yang tidak langsing, namun cukup menggemaskan (sebenarnya menggairahkan, namun aku agak khawatir dalam menggunakan kata ini). Singkat cerita, penampilan fisiknya menarik perhatianku.

Tak cukup sampai disitu, cerita berlanjut ketika kami kembali ke tempat masing-masing. Sempat kulihat salah satu kawannya pergi meninggalkan mereka. Pada awalnya, kawannya yang pergi semula duduk dihadapan wanita itu, dan wanita itu duduk memunggungiku. Namun beberapa menit setelah kawannya pergi, wanita itu berpindah tempat menuju tempat yang baru saja ditinggal kawannya. Praktis, posisi kami menjadi berhadap-hadapan. Saat inilah yang menurutku paling menyenangkan. Kami saling mencuri pandang, melirik ke arah lain, melirik lagi, pandangan kami saling bertemu, kemudian mengalihkan perhatian kepada hal lain. Permainan kontak mata seperti inilah yang selalu terasa menegangkan, namun secara bersamaan (setidaknya bagiku) terasa nikmat dan menyenangkan bisa mendapat kesempatan melihat seorang rupawati. Tak ingin terlihat bodoh, aku membuka tasku, mengambil binder, dan mulai menulis sebuah puisi (Tentunya kontak mata tetap terjadi). Inilah hasil pindai dari selembar puisi yang sempat kutulis siang itu.




Apabila tulisan pada gambar di atas kurang jelas, maka pembaca mampu melihat puisi itu di bawah ini:


Di Bangku Kantin Itu.

Dia yang teronggok begitu saja
Tanpa meminta, tanpa mengiba
Ia tak pernah menduga
Ataupun berharap
Bahwa dirinya adalah
Seonggok sampah

Tak berguna
Tak berdaya
Hanya hina
Tiada kuasa

Sementara ia, terduduk di sana
Tak pernah melihat, tak pernah merasa
Betapa agungnya ia, dipandang si sampah
Betapa indahnya ia, dirasa si sampah
Namun ia tak pernah tahu
Apa yang dipandang si sampah
Apa yang dirasa si sampah

Kini ia kembali, di sudut ini
Tertunduk, terpuruk
Tanpa pernah mengetahui
Siapa yang agung, siapa yang indah
Karena ia sang pemalu, sang rendah

Jumat, 16 Oktober 2015

Namun kesenangan itu berakhir ketika puisi yang kutulis telah rampung. Beberapa detik setelah rampung, wanita itu bersama kawan-kawannya pergi meninggalkan meja itu. Karena aku merasa tidak ada lagi yang bisa kulakukan di tempat itu, maka kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tanpa tahu identitas wanita itu, hingga kini. Namun aku tak menyesali perpisahan itu. Ketertarikan kepada lawan jenis yang tidak dikenal itu wajar, banyak orang yang pernah mengalami seperti itu. Namun aku tak berani menghayati terlalu dalam. Karena yang terlihat hanyalah rupa luarnya saja, tanpa kuketahui sifat dan perangai aslinya.

Mungkin wanita itu tak pernah tahu soal blog dan tulisan ini. Namun jika suatu saat (yang kemungkinannya sangat kecil) ia menemukan tulisan ini, kuharap ia mau memaklumi cerita ini. Aku menceritakan kejadian itu hanya berdasarkan sudut pandangku saja (Jelas saja, aku sama sekali tak berbicara dengannya). Namun harus kuakui, penampilan fisiknya memang menarik hati. Bahkan hingga tulisan ini diposting, benakku masih teringat akan kejadian itu. Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).