Skip to main content

This Blog is Dead but I Managed to Revive It Once Again

Setelah hiatus berkepanjangan, saya memutuskan untuk angkat pena lagi. (Sumber: Pixabay)

Hello... It's me again.
It's been a while, isn't it?

Sudah lama tak memuat tulisan-tulisan baru, bisa dikatakan bahwa blog ini sempat mati. Bisa dilihat bahwa tulisan terakhir saya diunggah pada tanggal 25 September 2018. Tinggal tunggu tujuh hari lagi maka sudah resmi tiga tahun saya hiatus dari kegiatan saya dalam mengisi blog ini.

Lantas, apa yang terjadi selama ini? Apa yang menyebabkan saya tiba-tiba menghilang dari peredaran? Itu semua, kawan, akan saya ceritakan secara singkat di dalam tulisan ini. Saya akan menuturkan cerita singkat tentang kehidupan saya selama tiga tahun terakhir.

So, Where Have I Been?

Selama tiga tahun terakhir, saya menghabiskan waktu di Surabaya. Namun semenjak Februari 2021, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saya di Probolinggo. Banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Perjalanan hidup saya bisa diringkas menjadi:

Skripsian > Mental Breakdown > Skripsian Lagi > Wisuda > Kerja > Resign > Mengungsi ke Kampung Halaman

Ya, pada Maret 2019, saya sudah lulus kuliah. Selang satu bulan kemudian saya memasuki dunia kerja secara penuh waktu (karena sebelumnya saya sempat menjadi pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar). Saya memulai pekerjaan saya sebagai penulis konten berita untuk sebuah media daring berskala kecil. Kemudian saya berganti pekerjaan menjadi seorang penerjemah junior. Berikutnya, saya menjadi content writer di sebuah agensi digital marketing di Surabaya. Karena suatu hal yang benar-benar tidak bisa ditawar lagi, saya pun memutuskan untuk "lompat dari kapal" pada Januari 2021.

Oh ya jangan lupa! Pada tahun 2020, pandemi Covid-19 sudah mulai masuk ke Indonesia. Sama seperti kalian para pembaca, pandemi ini juga turut berdampak pada kehidupan saya. Of course, in a bad way.

Karena sudah berstatus menjadi seorang pengangguran, saya pun kemudian memutuskan untuk pulang kampung. Saya manfaatkan momentum ketika pembatasan masih belum ketat, memungkinkan saya untuk melakukan perjalanan ke luar kota.

Di rumah, kegiatan yang saya lakukan selama ini antara lain mencari dan melamar pekerjaan baru, menggarap pekerjaan-pekerjaan freelance, dan mendaftar seleksi CPNS.

Tentu saja, saya juga sudah menerima dua dosis vaksin Covid-19.

And yeah, that's pretty much it.

Have I Stopped Writing?

No, not really.

Karena pekerjaan freelance saat ini, saya harus membuat artikel/esai untuk para klien. Akan tetapi, saya masih baru menggeluti usaha sebagai penulis lepas. Saking barunya, saya belum sempat membuat promosi untuk jasa saya di sejumlah platform pekerja lepas. Hingga tulisan ini terbit, semua klien saya merupakan teman-teman saya sendiri. Sehingga saya masih belum mendapatkan penghasilan yang stabil sebagai tukang tulis partikelir.

Lantas, mengapa saya hingga kini belum menjajakan jasa saya sebagai seorang penulis konten? Setidaknya, ada dua permasalahan yang saya identifikasi sebagai sumber penghambat saya dalam merintis karier sebagai penulis lepas.

Masalah Pertama: Kurang Percaya Diri

Pertama, saya masih belum percaya diri dengan keahlian saya dalam menulis untuk kebutuhan komersial. Meskipun pengalaman kerja sebelumnya mengharuskan saya untuk menulis, namun itu semua saya rasa belum cukup. Sampai saya berpikir untuk mengambil kursus daring demi mendapat sertifikat sebagai bukti bahwa saya adalah seorang pemain baru yang sudah terlatih.

Tapi solusi tersebut memiliki permasalahan klasik. Kursus daring membutuhkan biaya, dan dompet saya saat ini tengah menipis. Sehingga saya menunda terlebih dahulu keinginan saya untuk mengambil kursus (baca: mendapatkan sertifikat sebagai penulis konten).

Masalah Kedua: Produktivitas Menurun

Masalah berikutnya adalah semangat dan tingkat produktivitas menulis yang kini tak setinggi dulu. Bandingkan dengan saya di masa lampau, produktif dalam menulis opini, cerpen, puisi, hingga sekadar ocehan biasa di blog ini.

Bagaimana dengan saya di masa kini? Jujur, saya tak lagi seproduktif dulu. Saya yang dulu gemar mengomentari berbagai isu yang muncul di media arus utama, kini lebih sering menahan diri (atau lebih tepatnya, malas). Jangankan untuk nge-blog, mengunggah konten pribadi di media sosial saja sudah sangat jarang sekali.

Apalagi kalau membuat tulisan fiksi. Duh, barrier-nya jauh lebih susah untuk ditembus. Sudah berkali-kali saya punya angan-angan untuk menulis cerita. Tak perlu cerita panjang, menulis cerita pendek saja susahnya minta ampun untuk memulai. Saya terlalu banyak berpikir tentang hal-hal filosofis macam apa yang akan saya masukkan di karya saya nanti. Pikiran tersebut berujung pada gang buntu, sehingga niatan untuk menulis pun mandeg.

Untuk membangkitkan kembali minat saya dalam menulis, saya sempat bermain Writing Prompt. Saya cari sebuah tema acak dari sebuah situs generator, kemudian saya unggah tulisan saya di akun Medium saya.

Mengapa Medium? Alasannya bodoh. Saya sempat panik karena tidak bisa lagi masuk ke blog pribadi saya seperti dulu. Google telah mengubah sistem Blogspot menjadi Blogger (for the lack of better words) yang menyebabkan saya harus "mendaftar ulang" di Blogger dengan akun Google saya ini. Jadi untuk beberapa saat, saya beralih ke Medium.

Akan tetapi, sesulit-sulitnya memulai sesuatu, lebih sulit lagi untuk melakukan kegiatan tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Saya hanya berhasil mengunggah dua tulisan saja di Medium. Entah mengapa di kesempatan berikutnya saya tak lagi bermain Writing Prompt.

Dan pada akhirnya, usaha saya untuk meningkatkan kembali minat saya dalam tulis-menulis kembali tenggelam.

Sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk menghidupkan kembali blog ini.

How I Regain Control of My Blog?

Sebelumnya saya menyebutkan bahwa saya sempat kehilangan akses menuju blog saya yang satu ini. Akan tetapi, semuanya berubah ketika saya memutuskan untuk mencoba "mendaftar ulang" dengan membuat blog baru di Blogger.

Walhasil, setelah saya masuk ke bagian dashboard, saya menemukan blog lama saya di sana. Langsung saja, saya buka kembali blog tersebut dan berhasil. Saya pun kemudian memutuskan untuk mengaktifkan kembali blog ini, dan menghapus blog baru yang sempat saya buat sebelumnya.

Jika Anda bertanya-tanya mengapa saya memutuskan untuk kembali setelah sekian lama hiatus? Pada bagian sebelumnya, saya sempat mengatakan bahwa saya ingin merintis karier saya sebagai penulis lepas. Salah satu cara untuk membangun karier di bidang tersebut adalah memiliki portofolio. Wadah portofolio tulisan paling umum saat ini adalah blog.

Itulah kemudian yang membuat saya kembali mencoba menulis lagi di blog ini.

What's Next for this Blog?

Untuk rencana berikutnya, saya akan merombak ulang blog ini lagi. Saya akan mengganti template maupun tema blog ini. Tak hanya itu, dalam waktu dekat saya akan melakukan branding ulang blog masroyalbecak ini. Besar kemungkinan bahwa tulisan ini merupakan tulisan terakhir yang saya unggah atas nama masroyalbecak.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, saya akan membangun blog untuk kepentingan portofolio. Untuk kepentingan profesional, saya nanti akan membuat blog baru yang khusus memuat konten-konten yang berkaitan dengan jasa freelance writer.

Untuk blog pribadi, sampai saat ini saya tetap menggunakan blog ini meskipun nanti akan berganti nama. Sebagai blog pribadi, konten tulisannya tetap mengenai pandangan-pandangan pribadi saya di luar konteks pekerjaan.

Untuk Medium, mungkin saya dedikasikan untuk konten-konten Writing Prompt dan/atau tulisan berbahasa Inggris. Besar kemungkinan saya akan unggah silang (crosspost) konten dari blog ini ke Medium.  

Akan tetapi, saya masih mempertimbangkan apakah saya tetap mempertahankan blog saya di Blogger atau migrasi ke penyedia lain. Untuk perkembangan berikutnya, saya akan kabarkan lagi di blog ini.

So, am I ready to begin again? 
Time will tell...

Probolinggo, 18 September 2021, 06:04 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).