Skip to main content

Keluh Kesah Karena Penat Menyengat

Oh God! I really miss my blog! It’s been a while since my last post on this blog.

(Sebelum lanjut, ada baiknya jika kalian menyetel lagu yang telah aku sematkan di bawah sembari membaca tulisanku ini).


Sang Kala selalu tak habis-habis memaksaku untuk bersibuk-sibuk ria tanpa memberikanku waktu luang untuk menulis di blog ini. Di semester ini saja, aku sudah mulai mengurusi proposal skripsi. Belum lagi sejak Februari kemarin aku mulai magang di sebuah media daring berskala nasional yang kebetulan memiliki kantor di Surabaya.

Ya, hingga tulisan ini diketik, aku sedang menjalani masa magang di sebuah media daring yang fokus utamanya adalah membagikan berita-berita baik tentang Indonesia. Secara umum, aku merasa bahagia bisa mendapat kesempatan untuk berkontribusi pada media tersebut. Suasana kantor serasa rumah. Bahkan makan siang pun biasanya mengandalkan jasa katering yang menyajikan masakan-masakan rumah. Mungkin hal tak enak yang kurasa selama magang adalah tenggat waktu setor artikel. Belum lagi merasakan betapa susahnya mencari inspirasi kabar baik di tengah gempuran berita-berita buruk tentang negeri yang kian lama kian mengkhawatirkan.

Tapi beban yang kurasakan kini tidak hanya itu saja. Awalnya, bekerja terasa sangat menyenangkan karena aku memulai masa magang di saat libur semester. Namun suasana berubah ketika semester baru menjelang. Jadwal kuliah bertabrakan dengan jadwal kerja. Semula sudah diberikan dispensasi bahwa aku hanya wajib berkantor pada dua hari tertentu sedangkan sisa hari dimanfaatkan untuk kuliah. Namun tetap saja, hal tersebut memunculkan berbagai permasalahan baru.

Bayangkan saja, di tengah-tengah krisis finansial dan pergaulan, dirimu kini berada di sebuah saat yang memintamu untuk membagi waktu antara kehidupan akademis dengan pekerjaanmu. Aku seringkali merasa layu tatkala harus menghadapi segalanya sekaligus. Tidak hanya waktuku yang terbatas, namun tenagaku juga sayangnya tak bertahan lama.

Ibarat menyantap makanan kesukaan dengan perut yang terlampau kosong, kau ingin terus masukkan makanan yang kau sukai itu dengan lahap. Namun kemudian kau menyadari bahwa mulutmu telah dipenuhi oleh suapan penuh gairah itu. Akhirnya, mulutmu tak mampu membendung semua makanan itu. Satu persatu makanan itu keluar dari mulut begitu saja. Kau tak merasakan kepuasan apapun. Rasanya tidak enak. Sensasi pemberontakan di dalam mulut terasa menjijikkan dan tidak membuatmu nyaman. Kenyang tak dapat kau nikmati. Hanya kecewa yang kau dapat.

Sepotong metafora di atas kiranya mampu menggambarkan apa yang aku rasakan selama ini. Aku harus mendapatkan hasil yang lebih baik di bidang akademis. Proposalku harus lancar dan bisa kulanjutkan menjadi sebuah skripsi. Dan aku harus membuktikan kualitasku di tempatku bekerja. Aku ingin mendapatkan itu semua. Namun aku belakangan menyadari, bahwa tak selamanya aku mampu menanggung ketiga beban itu sekaligus. Selalu saja ada yang harus kukorbankan.

Misalnya saja, aku sudah beberapa kali menggunakan jatah bolos tugas (dalam satu mata kuliah, aku diwajibkan mengumpulkan delapan tugas dari empat belas pertemuan) demi mengkompensasi waktuku untuk bekerja. Di sisi lain, kurangnya waktu istirahat membuat proposalku tersendat-sendat. Padahal aku sangat berharap bahwa kuliahku semester ini lebih sukses. Aku ingin menebus segala dosa-dosa akademis di semester sebelumnya yang menyebabkan aku tertinggal dari yang lain.

Juga, sebenarnya aku merasa bahwa aku telah terlalu lama berada di kampus. Lihat saja wajah-wajah para junior yang seringkali tak acuh ketika aku berada di ruangan tempat para mahasiswa jurusanku sering berkumpul. Seolah air muka mereka berkata “Enyahlah kau! Sudah terlalu tua kau untuk ada dihadapanku” atau macam lainnya. Belum lagi ketika kulihat banyak wajah-wajah tak kukenal berada di tempat yang dulunya terasa nyaman bagiku. Tanpa wajah-wajah yang familiar, kini aku merasa canggung untuk bergabung di dalam forum jurusan.

Belum lagi urusan pekerjaan di kantor. Memang tidak ada suasana persaingan yang nyata di kantor. Namun ada tekanan tersendiri yang membuatku tak tenang selama bekerja. Semenjak dibarengi dengan kuliah, aku hanya mampu mengerjakan artikel di kantor. Selebihnya, aku tak mampu untuk sekedar mengumpulkan inspirasi untuk menulis kabar. Bahkan pernah dalam satu minggu aku tak menyetor tulisan, satupun. Bahkan aku tak memberi kabar kepada Sang Editor. Dari sinilah kemudian aku merasa bahwa usahaku tercoreng di sini.

Ketika aku menulis dan berhasil mengirimkan artikel pun, tetap saja ada pikiran-pikiran yang membebaniku. Waktuku untuk mengerjakan artikel hanya sedikit. Yang aku inginkan adalah bagaimana agar hasil karyaku menjadi sebuah tulisan yang diperhitungkan. Aku selalu berusaha memperhatikan berbagai detail yang kurasa perlu aku tambahkan. Selebihnya biar kebijaksanaan Sang Editor dalam mengoreksi redaksional tulisanku. Namun tetap saja, aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Tulisanku hanya teronggok begitu saja. Jauh di bawah dari apa yang aku harapkan. I want to prove myself as the best. But it always the other who’s getting the most out of me.

Aku tak bermaksud untuk mengeluhkan keseharianku secara berkepanjangan. Terlebih untuk mengharap belas kasihan, sama sekali tidak aku butuhkan. Yang aku inginkan di sini hanyalah sebuah tempat untuk menceritakan semua ini di hadapan orang banyak yang belum tentu mengenal siapa aku sebenarnya. Ini jauh terasa lebih baik daripada harus mengganggu linimasa media sosial kawan-kawanku yang lain. Sudah berapa komplain yang aku dengar tentang kebiasaan bocorku di media sosial. I’m sorry guys, I’m trying my best.

Toh pada akhirnya, apapun mantra nirmakna yang aku rapal, tak akan mengubah segalanya menjadi lebih mudah. Pilihan yang tersisa hanyalah melakukan apa saja dengan semestinya. Sembari bermain rancak dengan rona-rona ekspresi yang kian lama kian acak-adut ini. Berubah pun dengan semestinya. Sebagaimana manusia telah diciptakan untuk bereksperimen dengan alam pikirnya.

Life is kinda funny, since I always want to eat more than I could chew.

Surabaya, 13 April 2017, 21:17 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).