Pada
jaman dahulu kala, ada seorang janda miskin bernama Mbok Rondo yang hidup di
desa. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah mencari dan menjual kayu bakar. Mbok
Rondo hidup sebatang kara dan kesepian. Ia ingin sekali memiliki seorang anak
walaupun sudah lama ia telah ditinggal mati oleh suaminya. Hingga pada suatu
hari ia memutuskan untuk meminta tolong kepada seorang raksasa sakti yang hidup
di dalam hutan yang sangat lebat. Ia berharap agar sang raksasa mau mengabulkan
permintaannya itu.
***
Demikian Sang Ibu
menuturkan kisah dongeng pengantar tidur hingga Ratih, anaknya, terlelap tidur.
Sebelum ia beranjak meninggalkan Ratih, ia sempat mengelus-elus kepala anaknya
yang masih berumur sepuluh tahun itu. Dipandangnya gadis kecil itu dengan
perasaan penuh kasih sayang namun terselip sebuah kesedihan di dalam hati Sang
Ibu. Ratih bukanlah anak kandungnya dan tujuh tahun lagi ia akan kehilangan
gadis kecilnya itu. Air mata mulai membasahi kedua mata Sang Ibu. Ratih harus
diserahkan kepada seseorang yang sebelumnya telah memberinya tanggung jawab
untuk mengasuh Ratih. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah atasannya
sendiri. Sang Ibu terlibat di dalam Proyek Apsara, sebuah proyek kloning dan
modifikasi genetika manusia yang bersifat rahasia milik Garda Marcapada, sebuah
korporasi raksasa yang mempekerjakan dirinya.
Tak pernah lepas dari
ingatannya akan apa yang terjadi di laboratorium tempatnya bekerja. Banyaknya
bayi-bayi kloning yang tubuhnya tidak wajar dan memilukan hati, pekik tangis
bayi yang menyayat batin, hingga sebuah fakta bahwa dari sekian banyak, hanya
dua hasil kloning yang terbebas dari maut yang menyiksa. Salah satunya adalah
Ratih. Karena itulah ia ditunjuk sebagai orang tua angkat Ratih. Setidaknya
untuk tujuh belas tahun. Sudah lama ia ingin pergi meninggalkan proyek
tersebut. Namun ia tak memiliki daya apapun ketika ratusan tentara bayaran
Garda Marcapada selalu mengancam nyawanya apabila ia berkhianat. Hal itu
pulalah yang menyebabkan Sang Ibu ragu untuk menerima tawaran untuk menjadi
informan bagi seseorang yang mengaku sebagai anggota intelijen negara. Hidupnya
kini bagai telur di ujung tanduk.
Tak
ingin berlama-lama meratapi nasibnya, Sang Ibu beranjak pergi meninggalkan
kamar Ratih. Pikirannya kini melayang-layang mencari cara untuk menyelamatkan
Ratih dari cengkeraman raksasa. Sempat terpikir olehnya untuk menghubungi pihak
berwajib. Namun ia menyadari bahwa Garda Marcapada telah menyuap pihak
kepolisian untuk melindungi mereka. Sang Ibu kemudian berputus asa hingga ia
teringat kepada sekelompok orang yang memberikan tawaran padanya untuk mengkhianati
Garda Marcapada.
“Mungkin
seharusnya aku harus menghubungi orang dari Mahameru. Kuharap mereka mampu
membantuku menyelamatkan Ratih.” gumam Sang Ibu sembari membuka telepon
genggamnya. Ia melimpahkan segala doanya demi mewujudkan harapan satu-satunya.
Menyelamatkan Ratih dan menghentikan Garda Marcapada.
***
Kota
Kartikapura, 24 September 2030. Agen Muda Dewabrata.
Sang kala menunjukkan
waktu pukul 21.00 ketika aku berada di dalam sebuah ruang tamu untuk menerima sebuah
“paket” dari seorang informan Ksatrian Mahameru. Ksatrian Mahameru, atau
seringkali disingkat Mahameru, adalah sebuah divisi intelijen yang didirikan
oleh Presiden, bernama sandi Hyang Wenang, setelah mendapatkan laporan tentang
Proyek Apsara. Profesor Arimbi, nama informan itu, adalah ilmuwan senior yang
terlibat di dalam Proyek Apsara. Sebagai anggota junior Mahameru, aku
ditugaskan untuk menerima informasi dari Profesor Arimbi setiap sebulan sekali.
Namun kini aku diperintahkan untuk membawa sebuah “paket” dari sang informan. Belakangan
kuketahui bahwa sang “paket” adalah anak angkat sang informan, bernama Ratih
Aurelia Kurbita.
“Memasuki tahun 2030, kini
usia Ratih telah mencapai tujuh belas tahun. Prawoto akan menagih janjiku untuk
menyerahkan Ratih kepadanya. Ia akan dijadikan sebagai bahan percobaan lanjutan
dalam Proyek Apsara dan aku tahu ini artinya adalah nasib buruk bagi Ratih. Aku
tak ingin hal itu terjadi dan aku ingin meminta bantuanmu, Dewabrata.”
“Dengan kata lain, kau
meminta kami untuk melindungi Ratih karena ia adalah kartu as dari Proyek
Apsara?” aku bertanya, menerka apa yang diminta oleh Profesor Arimbi.
“Bisa dikatakan seperti
itu. Ia adalah purwarupa sempurna yang sangat berharga bagi Garda Marcapada.
Mereka ingin menghasilkan purwarupa yang setara dengan dirinya. Namun yang
menjadi alasan utamaku adalah...” sesaat ucapannya terhenti. Ia terlihat sedang
memikirkan lanjutan kalimatnya seraya meneguk tehnya. Kemudian ia melanjutkan
perkataannya.
“Aku ingin dia selamat
dari cengkeraman Garda Marcapada. Proyek Apsara hanya membawa keburukan baginya
dan aku tak mau hal itu terjadi. Aku ingin mencoba menyelamatkannya sebagaimana
aku menyelamatkanmu sepuluh tahun yang lalu. Ingatlah, kau berasal dari wadah
yang sama dengan Ratih.” Arimbi melanjutkan jawabannya sembari menunjuk ke arah
dadaku. Sedetik kemudian, aku teringat dengan masa kecilku yang terisolasi.
Kurasakan kembali dinginnya kamar tidur, operasi implan jantung yang
menyakitkan, hingga suara-suara jeritan yang membuatku ketakutan dan menangis.
Memori akan tempat itu memberikanku sebuah sensasi ngilu di sekujur tubuh.
Mimpi buruk!
Seketika
lamunanku buyar ketika aku mendengar ketukan yang kasar. Ada yang datang
rupanya. Seketika Profesor Arimbi menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah.
“Masuk dan temui Ratih!
Bawa dia pergi dari rumah ini lewat pintu belakang. Ia sudah kusuruh sebelumnya
untuk pergi bersamamu. Biar kuurus orang yang datang ini. Kurasa ia dari Garda
Marcapada. Cepatlah!” perintah Profesor Arimbi sambil mendorongku ke dalam
rumah untuk menemui Ratih. Beberapa langkah aku berjalan, kutemukan seorang
gadis berambut lurus sebahu. Ia sedang mengupas timun dengan pisau lipat. Aneh.
“Ibumu
memintaku untuk membawamu pergi. Cepat ikut aku!” tanpa pikir panjang, kupegang
dan kutarik lengan Ratih. Kedua tangannya masih memegang pisau lipat dan timun
ketika aku membawanya pergi. Aku harus pergi bersama Ratih menuju sebuah tempat
yang telah direncanakan sebelumnya. Di sanalah aku harus membawa “paket” dan melapor
kepada Durga, atasanku di Mahameru. Meskipun kini sebenarnya aku merasakan
sebuah firasat yang tidak mengenakkan. Bayanganku akan neraka Prawoto masih
belum hilang.
***
Tak ingin anaknya mati dimakan Raksasa Hijau, Mbok Rondo
pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan kepada seorang pertapa. Sang
Pertapa memberikan empat bungkusan kecil yang masing-masing berisikan biji
timun, jarum, garam, dan terasi.
“Ketika raksasa itu datang, suruh anakmu untuk pergi sambil
membawa empat bungkusan ini. Katakan padanya untuk menebar biji timun, jarum,
garam, dan terasi secara berurutan. Dengan cara itulah nasib anakmu
terselamatkan dari cengkeraman Raksasa Hijau.” kata pertapa itu kepada Mbok
Rondo. Kini, harapan itu tampak nyata.
***
Sebuah
jalan di kota Kartikapura, 24 September 2030. Ratih Aurelia Kurbita.
Belum pernah aku
mengalami kejadian ini sebelumnya. Berada di dalam mobil yang dikendarai oleh
orang asing sembari membawa timun dan pisau lipat. Untuk apa aku dibawa lari?
Siapa yang menjadi ancaman? Mengapa Ibu menyuruhku untuk pergi bersama orang
asing ini? Berulangkali benakku bertanya-tanya tentang semua ini. Dan kini aku
mengkhawatirkan kondisi Ibu sekarang. Kemarin ibu menyuruhku untuk meninggalkan
rumah bersama orang suruhannya demi keselamatanku. Demi apa?
Sementara itu, pria yang
kini sedang mengendalikan mobil belum membuka mulutnya lagi setelah ia sempat
memperkenalkan dirinya. Namanya Dewabrata dan itupun bukan nama aslinya. Kuhabiskan
potongan terakhir timunku hingga pria asing ini mulai berbicara lagi.
“Bukalah amplop ini. Aku
akan menjelaskan segalanya padamu.” ia mulai membuka percakapan sembari
menyodorkan sebuah amplop besar berwarna coklat kepadaku. Kulihat raut wajahnya
yang tegang dan sesekali mulutnya berkomat-kamit. Kurasa ia berusaha untuk
menenangkan diri dengan merapal doa. Perjalanan tengah malam bukanlah suatu hal
yang lazim di tempat ini. Sepanjang perjalanan, yang kulihat hanyalah
lampu-lampu kota yang menyala redup. Tak cukup membantu bagi pengendara yang
melintas di jalan ini.
Tak ingin mengganggu
konsentrasinya lebih lama, kusimpan pisau lipatku di saku baju dan kuambil
amplop itu. Ketika kubuka, amplop ini berisi lembaran-lembaran foto berukuran
A4. Kulihat satu demi satu foto yang kini berada di tanganku. Secara berurutan,
aku melihat foto sebuah gedung hijau dengan papan bertuliskan “Garda Marcapada”
di depannya, foto seorang pria gundul berkumis baplang, foto pria tersebut
sedang menjabat tangan Presiden negara ini di masa lampau, sebuah ruangan
dengan beberapa tabung kaca berukuran besar dan masing-masing tabung berisikan
sesuatu yang menyerupai bentuk bayi manusia, serta foto terakhir yang membuatku
terkejut. Foto ibuku sendiri dengan seragam laboratorium. Aku terkejut
mendapati foto ibuku. Belum sempat aku bertanya, Dewabrata kembali membuka
suara.
“Berdiri sejak tahun
2003, Garda Mayapada adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi dan
penyedia alat-alat kesehatan. Garda Marcapada hanyalah perusahaan biasa hingga
Prawoto Yudhoprawiro menjabat sebagai Direktur Utama pada tahun 2009.” pria itu
sempat menghentikan ucapannya ketika ia menekan tombol klakson berkali-kali,
meminta truk gandeng di depan untuk memberi jalan. Setelah mampu menyalip truk
gandeng tersebut, ia melanjutkan ceritanya.
“Dikenal dengan motto “Pelindung
Kelangsungan Hidup Umat Manusia”, pada tahun 2012 Garda Mayapada menjadi mitra
utama Kementerian Kesehatan. Berkat itulah, Garda Mayapada telah menjadi
sesosok raksasa yang memiliki pengaruh besar dalam politik negara ini. Hingga
pada tahun 2018 Prawiro menemui Presiden di Istana Negara. Tidak ada yang tahu
pasti tentang apa yang mereka bicarakan pada saat itu kecuali Badan Intelijen
Neg... AAAARGH!” belum usai ia menuturkan ceritanya, tiba-tiba mobil yang
kutumpangi ditabrak dari samping kanan oleh mobil jip berwarna hitam yang
menerjang dari arah kanan perempatan.
Mobil yang kami tumpangi
terseret hingga akhirnya terhenti. Suasana jalan yang sepi pada tengah malam
membuat kami tidak awas. Belum sempat menyadari apa yang telah terjadi,
tiba-tiba kaca jendela di sampingku dijebol dan terlihat sesosok orang
berpakaian hitam-hitam dan bertopeng yang tiba-tiba berusaha menarikku keluar
dari mobil. Ingin rasanya aku meminta tolong kepada Dewabrata. Celakanya, ia sedang
berusaha melepaskan diri dari pitingan lengan yang menjepit lehernya. Tidak ada
yang mampu menolongku. Saat terakhir yang kuingat adalah ketika penculik itu
memaksakan saputangan ke hidungku. Kesadaranku mulai menghilang dan aku tak
lagi merasakan apapun. Gelap.
***
Sebuah jalan di kota Saloka,
25 September 2030, Agen Muda Dewabrata.
“Durga telah
mengkhianati kita!” terdengar suara teriakan, disusul dengan suara kepalan
tangan menghantam jendela mobil. Hal pertama yang kudengar setelah sekian lama
tak sadarkan diri. Pria yang duduk disampingku itu melanjutkan ceritanya.
“Wanita itu rupanya agen
ganda yang bekerja untuk Garda Marcapada. Dia pulalah yang menculik Purwarupa
Nomor 9 dan berkat informasi yang ia bocorkan kepada Garda Marcapada, kini Prawoto
tahu bahwa kita memiliki informan di Garda Marcapada dan...” pria yang
mengendarai mobil di sampingku itu menghela nafas sejenak, kemudian berkata
“Aku tak yakin kau akan menyukai ini.”
“Apa yang terjadi?”
“Arimbi telah dibunuh
oleh Prawoto sesaat setelah kau membawa Purwarupa Nomor Sembilan pergi. Durga
memberitahukan ini kepadaku dan Batara Guru ketika ia mengumumkan
pengkhianatannya.” kata pria berperawakan gemuk yang memiliki nama sandi
Narada. Dari ceritanya pula, aku mengetahui bahwa aku ditemukan dalam kondisi
tak sadarkan diri dengan perdarahan di bagian dahi. Narada lah yang kemudian
menemukanku di perempatan, memberikan pertolongan pertama, dan kini membawaku
entah kemana.
Kupegangi kepalaku yang
kini berbalut perban. Semakin nyeri rasanya ketika mengetahui bahwa Operasi
Timun Mas telah dikacaukan oleh agen Mahameru sendiri. Kuingat saat terakhir
sebelum kepalaku dihantam benda tumpul, Durga yang memimpin penculikan tersebut
sempat menceritakan segala hal tentang pengkhianatannya. Baginya, Proyek Apsara
justru menguntungkan negara dan dirinya. Demi itulah ia rela mengkhianati
Mahameru. Kulamunkan perkataan wanita yang sempat menjadi atasanku itu hingga
akhirnya Narada menepuk pundakku.
“Hentikan
sejenak lamunanmu itu. Kau dapat tugas baru. Sebentar lagi kita akan tiba di
kantor Garda Mayapada. Menurut laporan yang kuterima, Purwarupa Nomor Sembilan
kini berada di tempat itu.”
“Lantas, apa rencana
selanjutnya?” tanyaku.
“Kita akan menyelamatkan
Purwarupa Nomor Sembilan dan menangkap Durga. Kemungkinan besar mereka ada di
sana dan bisa saja Prawoto kini ada di tempat itu.”
“Dengan cara apa? Kita
tahu sendiri bahwa tempat itu dijaga dengan ketat oleh tentara bayaran Garda
Marcapada. Belum lagi...”
“Tenang saja.” Narada
memotong kalimatku. “Atas perintah langsung dari Presiden, Pasukan Khusus telah
dikirimkan untuk mengamankan gedung Garda Marcapada. Aku tak tahu apa yang
terjadi. Namun yang jelas, kita masih dibutuhkan di sana.”
Kulihat arlojiku
menunjukkan waktu pukul 01.00 ketika kami tiba di depan gedung Garda Mayapada.
Sekeliling gedung rupanya telah diamankan dan kini sejauh mata memandang
kulihat beberapa personel militer sedang membentuk barikade, mengepung gedung
yang berwarna hijau itu. Sesosok pria bertubuh tinggi dan berkacamata
mendatangi kami yang baru saja turun dari mobil. Dialah Batara Guru, pemimpin
Ksatrian Mahameru.
“Waktu kita sedikit.
Narada, Dewabrata, segera persenjatai diri dan kenakan pakaian pelindung. Kita
harus menangkap Durga dan menyelamatkan sandera!”
“Bagaimana dengan
Prawoto?” tanyaku.
“Amankan juga. Hidup
atau mati tak masalah. Jika kau berhasil, kau akan mendapat promosi. Semoga
beruntung!” pungkas Batara Guru sembari melangkah meninggalkan kami. Tak ingin
membuang waktu, aku dan Narada bergegas mengikuti Batara Guru, menyiapkan pengaman
diri dan pistol genggam. Aku tak pernah merasa setegang ini sebelumnya.
***
Waktu menunjukkan pukul 01.45
ketika aku memasuki sebuah ruang temaram dengan cahaya hijau kekuningan
berpendar-pendar ke segala penjuru ruangan. Sebelumnya, aku, Narada, dan Batara
Guru memasuki gedung setelah Pasukan Keamanan telah memastikan keamanan gedung.
Kami bertiga berpencar untuk mencari para target, dan kini aku berjalan
menyusuri ruangan berhawa dingin menusuk tulang. Kulihat tabung-tabung besar
berjajar di sampingku. Tak salah lagi ini adalah laboratorium kloning!
Langkahku terhenti ketika aku melihat sesosok bayangan beberapa meter di
hadapanku. Bayangan gelap itu lambat laun mendekat, menyerupai sesosok manusia.
Terdengar suara dari sosok bayangan itu.
“Dewabrata! Nama seorang
ksatria! Putra kedelapan Dewi Gangga yang dibiarkan hidup setelah tujuh
saudaranya dihanyutkan di sungai. Sama seperti engkau yang kuselamatkan meskipun
tujuh purwarupa cacat lainnya digugurkan. Kau pun juga cacat, wahai Purwarupa
Nomor Delapan! Beruntung aku memerintahkan Arimbi untuk memberikanmu jantung
buatan dan membiarkanmu hidup. Namun ternyata, Arimbi menipuku, membawamu
kabur, dan menyerahkanmu kepada kaki tangan Presiden, demi menghancurkan rencanaku!
Namun kubiarkan saja hingga kini ia kubunuh! Pengkhianat itu!”
Kepala gundul, kumis
tebal melintang. Tak salah lagi, dialah Prawoto. Kulihat ia menyandera Ratih
dengan todongan pistol yang ditempelkan pada pelipis Ratih.
“Apa maumu, Prawoto! Apa
yang kau inginkan dari Ratih?” teriakku.
“Proyek Apsara merupakan
sebuah mahakarya ciptaanku untuk menghasilkan manusia-manusia yang memiliki
kecerdasan dan kemampuan fisik di atas rata-rata. Mereka kelak akan kujadikan
sebagai bala tentara yang mampu melindungi Bumi Pertiwi dari musuh-musuhnya.
Namun pemerintah terlalu bodoh ketika mereka menolak gagasan cemerlangku ini.
Demi kemanusiaan? Demi moral? Omong kosong! Mereka lebih peduli dengan sampah
semacam itu sedangkan mereka lupa bahwa negara kita sedang terancam agresi
negara lain! Untuk mewujudkan rencanaku, aku membutuhkan kalian, Ratih dan kau!
Tapi kau malah membela pemerintah yang dungu. Dasar anak durhak... AAARGH!”
Tiba-tiba Prawoto
mengerang kesakitan, ucapannya terputus. Rupanya Ratih menusuk paha kanan
Prawoto yang lengah dengan pisau yang dibawanya dari rumah. Sebuah kesempatan
untuk mengakhiri semua ini!
“Ratih, menyingkir!”
teriakku sembari membidik pistol ke arah Prawoto dan Ratih seketika berlari ke
arah samping. Terdengar suara tembakan menyalak, disusul dengan suara peluru
menembus kepala Prawoto, kemudian hening. Aku terduduk lemas, memandang pistol
yang kugenggam. Ini pertama kalinya aku membunuh seorang manusia.
Suara Handy-Talkie tiba-tiba memecah kesunyian.
Rupanya panggilan dari Batara Guru. Kuletakkan pistolku di lantai dan kujawab
panggilan itu.
“Aku dan Narada tidak
menemukan Durga. Rupanya ia berhasil kabur sebelum tempat ini dikepung. Bagaimana
denganmu? Ganti.” tanya Batara Guru.
“Prawoto telah tumbang.
Ratih berhasil kuselamatkan. Apa selanjutnya? Ganti.” jawabku sembari memandang
jasad Prawoto. Kurasakan sensasi mual yang membelit perut.
“Tak mengapa, nak. Tinggal
menunggu putusan Hyang Wenang untuk membekukan Garda Marcapada. Untuk sementara
waktu, negara terselamatkan. Kita urus Durga di lain hari. Segera bawa Ratih ke
depan gedung. Batara Guru out!”
***
Kini Timun Mas menyaksikan Raksasa Hijau tenggelam dihisap
oleh lumpur hidup yang muncul akibat dari terasi yang dilempar Timun Mas.
Berkali-kali Raksasa Hijau meronta-ronta meminta tolong. Namun Timun Mas hanya
terdiam, menyaksikan pralaya sang raksasa durjana. Berakhir sudah teror yang
menghantui hidup sang gadis dan ibunya.
TAMAT
Comments
Post a Comment