Mungkin sudah menjadi
kebiasaan bagi saya kalau mau menulis itu harus dipicu oleh sesuatu yang aneh
dan menggelitik sehingga mampu membangkitkan diri saya dari rasa malas yang
terkutuk dan menghambat produktivitas seorang penulis kacangan seperti saya
ini. Jika engkau bertanya-tanya hal ajaib macam apa yang mampu membuat saya
tergerak untuk menulis entri baru di blog ini, maka inilah jawaban yang nyata
bagiku dan bagi kalian semua, wahai para kawanku pembaca yang kurang kerjaan karena
masih sempat-sempatnya mampir di blog amatir ini.
Syahdan setelah saya mengantarkan seorang kawan kembali ke kontrakannya, saya
sempat berhenti untuk putar balik. Namun entah mengapa sepasang bola mata ini tertarik
untuk melirik ke arah sebuah gedung sekolah yang tidak jauh dari tempat saya
berhenti. Sekilas tidak ada yang aneh dari gedung itu. Dua kilas perasaan ini
mulai tidak enak ketika menatap gedung yang berada pada suatu tempat di
Surabaya. Baru pada kilas ketiga saya menemukan sesuatu yang mampu menggetarkan
hati dan pikiran.
Bahkan efek guncangannya
tidaklah tertandingi oleh efek yang dirasakan setelah melihat sang juwita
pujaan hati berjalan beriringan dengan seorang pria random yang entah darimana asal-usulnya (Loh kok malah bahas
gebetan? Salah fokus saudara-saudara, maafkan). Jikalau kawan bertanya-tanya
soal keanehan macam apa yang membuat saya salah fokus (Sampai ingat gebetan),
maka kutunjukkan dengan senang hati apakah itu.
Gambar 1: Terima kasih anda telah berbusana muslim (berjilbab). |
Seketika bumi
gonjang-ganjing! Langit kelap-kelap! Ikan koi mangap-mangap! Mercon dibakar!
Padi dipanen! Surabaya digoyaaaaaaaaaaang!!!! (Loh kok?). Saya terkejut ketika
membaca tulisan yang terpampang di depan parkiran gedung sekolah ini. Sebagai seorang
muslim (Insya Allah) yang berusaha taat istiqomah (Walau seringnya ndablek)
saya merasa bahwa tulisan ini mampu mengguncang keimanan para muslim yang lain.
Bahkan mungkin efeknya lebih dahsyat daripada goyangnya bumi persilatan karena
Tongkat Emas yang sakti telah dikuasai oleh seorang pendekar berwatak angkara
murka bernama Biru (Bukan merek permen lolipop yang bisa merubah warna lidahmu).
Gambar 2: Pendekar Biru. Saudara beda ayah, beda ibu, dan beda nasib dengan penulis. Dia jadi pendekar, saya jadi penulis amatiran keblinger kenangan. |
Perlu saya tegaskan bahwa
tulisan ini tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang prahara Tongkat Emas di
bumi persilatan yang letaknya antah-berantah. Karena sungguh saya diberikan
amanah oleh orangtua untuk menuntut ilmu di kota orang bukan untuk menjadi
seorang pendekar yang mampu menguasai jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi yang
harus dilakukan secara berpasangan. Maka jadilah saya seorang mahasiswa yang (sampai
pada saat tulisan ini diketik) masih belum berpasangan.
Namun pada hakikatnya
saya juga yakin, haqqul yaqin, bahwasanya saya kuliah di kota ini bukan pula
untuk mencari tulisan-tulisan semacam ini. Justru tulisan inilah yang
mempertemukan saya dengan sebuah renungan yang memaksa untuk didalami. Saya
sadar bahwa saya adalah seorang awam dalam beragama. Saya tidak pernah
mendalami mazhab apapun di dalam agama. Namun saya masih ingat betul bahwa baik
guru agama maupun guru ngaji saya dulu tidak pernah menyuruh semua murid-muridnya
yang muslim untuk mengenakan jilbab. Saya juga tidak pernah dianjurkan oleh kedua orangtua saya untuk berjilbab sementara dua saudari kandung saya yang juga muslim malah mengenakan jilbab. Lantas ajaran macam apa yang berlaku di tempat itu? Apakah ini
ajaran dari sebuah perguruan silat yang telah lama hilang dari sejarah
peradaban umat manusia?
Sedalam ingatan saya
menyelam, baik guru agama di sekolah maupun guru ngaji di musola mengajari saya
bahwa kaum muslim wajib menutup aurat mereka masing-masing. Untuk
ketentuan aurat yang lebih rinci bisa kawan cari di sumber-sumber terpercaya
dan akurat. Namun yang saya ketahui pasti dari urusan tutup-menutup aurat salah
satunya adalah seruan untuk mengenakan jilbab (Atau hijab? Entahlah, saya
kurang paham soal pakaian wanita). Banyak wanita muslim yang mengenakan jilbab
dan banyak dari mereka yang terlihat lebih manis dengan jilbab yang menutupi
kepala para mbak-mbak yang berusaha mengamalkan syariat agama.
Gambar 3: Ilustrasi wanita muslim yang berjilbab. Saya sampai harus buka-buka situs tutorial hijab demi mendapatkan sebuah gambaran yang cukup memuaskan bagi penulis. Sumber gambar. |
Sebelum kita terlanjur
melampiaskan emosi, ada baiknya kita mengecek terlebih dahulu arti dari kata “muslim”
terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “muslim”
diartikan sebagai “penganut agama Islam” (Silahkan cek di sini). Jika kita
merujuk pada definisi dari KBBI, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cakupan
arti kata “muslim” ini sifatnya universal dan tidak dibatasi oleh jenis kelamin
atau gender. Barulah kita mendapatkan definisi yang spesifik apabila kita
mencari kata “muslimat” di KBBI yang berarti “perempuan muslim”. Sedangkan kata
“muslimin” mendapatkan dua artian di dalam KBBI, yaitu: 1) para penganut agama
islam; 2) laki-laki muslim. Asumsikan bahwa penulis menggunakan KBBI sebagai landasan dalam menafsirkan definisi kata-kata tersebut. Namun penulis tetap terbuka dengan definisi lain yang akurat dan kredibel.
Sekarang kita cermati
kembali Gambar 1, kemudian bandingkan dengan definisi kata-kata yang telah
disebutkan di paragraf sebelumnya. Jika di dalam otak kawan-kawan sekalian
terlintas sebuah pemikiran yang serupa dengan saya, maka kalian pasti tahu apa
maksud dari tulisan panjang lebar beserta ilustrasi yang saya papar sebelumnya.
Kata “berjilbab” pada himbauan tersebut dapat diartikan sebagai satu-satunya busana
muslim yang dihimbau untuk dipakai di area sekolah tersebut. Jika penulis
memiliki tafsiran seperti itu, maka bisa dibayangkan bahwa semua muslim di
tempat itu, tak peduli ia adalah seorang pria atau wanita, harus mengenakan
jilbab! Mampukah kalian, wahai para kawanku, membayangkan hal seperti itu?
Kalau saya sih tidak sudi membayangkan pria berjenggot mengenakan jilbab.
Daripada membayangkan
sekelompok mas-mas berjilbab, alangkah baiknya kita ber-husnuzan. Mungkin yang dimaksud dari himbauan itu adalah kenakan
pakaian yang menutup aurat, khusus untuk muslimat mengenakan jilbab. Namun yang
terjadi apabila maksud tidak sambung dengan kenyataan bahwa ruang yang tidak
cukup untuk menulis himbauan yang detil, maka terpaksa himbauan tersebut
ditulis secara singkat, namun menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Plot twist: Bagaimana
kalau justru semua muslim memang harus mengenakan jilbab, tanpa terkecuali?
Kalau memang seperti itu,
mungkin saya harus mempertimbangkan diri ini untuk mengenakan jilbab.
Catatan: Tulisan ini bukan merupakan sebuah tesis keagamaan
maupun pandangan penulis soal ajaran agama tertentu. Tulisan ini adalah murni hasil imajinasi liar penulis
setelah menafsirkan kalimat himbauan pada Gambar 1 yang bersifat ambigu dan memicu terjadinya berbagai tafsir yang beragam. Penulis mengucap maaf apabila ada kata-kata yang membuat kawan pembaca tersinggung dan tidak tersungging senyum karena garing.
Comments
Post a Comment