Skip to main content

Liburan Kok Begini Sih?



Salam bagi pembaca, jika memang ada yang benar-benar membaca tulisan ini.

Pada saat itu jam menunjukkan pukul 00.15 WIB ketika saya memutuskan untuk pergi menuju warung nasi goreng. Alasannya jelas, makan nasi goreng disertai ngopi plus baca koran. Selama hampir satu setengah jam, saya berusaha mencoba menikmati nasi goreng disertai sakit kepala dan bayang-bayang sang gebetan yang menari-nari didalam pikiran. Bukan, bukan ini yang menjadi inti tulisan saya kali ini. Ide tulisan baru muncul ketika saya membuka lembaran koran Jawa Pos edisi 16 Mei 2015, tepatnya di rubrik olahraga. Tapi jangan salah mengira, yang akan saya tulis disini bukan soal olahraga. Melainkan soal kolom travelling yang menggelitik dan membuat saya gatal untuk menulis di blog ini. Cara yang cukup efektif untuk memecah hiatus setelah sekian lama saya tidak meng-update blog saya yang satu ini.



Artikel sakti macam apa yang mampu membangkitkan selera saya untuk menulis di blog ini lagi? Tak lain dan tak bukan adalah artikel di bawah ini:
Gambar 1: Maaf apabila kualitas gambar tidak memuaskan.

Secara ringkas, artikel ini menceritakan tentang pengalaman liburan seseorang yang mengunjungi sebuah tempat di Mesir, tepatnya di kawasan Sinai, yang dulunya berfungsi sebagai benteng milik Israel hingga pada akhirnya mampu direbut kembali oleh tentara Mesir. Hal yang menggelikan terjadi ketika saya mencoba mencari informasi tentang Khat Berlief melalui bantuan Google. Tiga entri pertama merujuk pada artikel yang dimuat di koran yang bersangkutan. Namun sejumlah entri berikutnya malah merujuk pada daun khat. Tentu saja tidak ada kaitannya sama sekali antara sebuah daerah di Mesir dengan sebuah daun yang diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai drug abuse yang legal di beberapa negara dan juga illegal di beberapa negara lainnya.
Gambar 2: Jaka Sembung bawa bekel. Gak nyambung mbah Google!

Kejadian ini yang membuat saya untuk menggunakan keyword lainnya dan pada akhirnya saya pun menemukan sebuah artikel di Wikipedia yang deskripsinya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh penulis artikel liburan tersebut. Meskipun saya tidak berani memastikan jika tempat inilah yang dimaksud oleh sang penulis artikel liburan.
Gambar 3: Battle of Fort Lahzanit, bagian dari Perang Yom Kippur.

Namun, apakah saya akan menjelaskan tentang sejarah dari tempat ini? Tentu saja tidak. Bukan sejarah Perang Yom Kippur yang menjadi poin utama yang ingin saya sampaikan disini. Melainkan sebuah kejadian yang diceritakan oleh sang penulis artikel liburan yang membuat saya gatal untuk berkomentar. Sang penulis artikel liburan menyatakan bahwa ia bersama rombongan sempat berfoto diatas sebuah tank yang berada di kompleks benteng tersebut (seperti yang terlihat pada Gambar 1). Geregetan rasanya ketika melihat relik perang bersejarah yang fungsinya serupa dengan pajangan museum dinaiki begitu saja. Perasaan saya diperparah oleh apa yang dikatakan oleh sang penulis artikel liburan bahwa ada larangan untuk menaiki tank di lokasi tersebut.
Gambar 4: Katanya dilarang, tapi kok dilanggar?

Tidak cukup dengan kalimat tersebut, deskripsi foto yang terpampang di artikel tersebut seolah-olah memancing rasa gatal saya untuk berkomentar. Deskripsi tersebut menyatakan alasan mengapa rombongan berfoto di atas tank tersebut. Entah saya tidak tahu apakah yang menulis deskripsi tersebut adalah sang penulis artikel liburan atau tambahan dari editor artikel, namun saya akui cukup efektif dalam memancing emosi saya.
Gambar 5: What??? Cuma untuk gaya-gayaan???

Mohon maaf sebelumnya, karena ada beberapa kata yang mungkin dirasa tidak sopan.

Apa menurutmu tanggapan pertama saya setelah melihat semua ini? Bisa saya katakan dengan tiga kata yang mewakili emosi saya pada saat itu.

Katrok, norak, dungu!



Sekali lagi saya mohon maaf apabila saya menuliskan ketiga kata diatas. Namun, jika diteliti kembali, rombongan liburan tersebut seolah-olah mencerminkan ketiadaan etika dalam berwisata di tempat bersejarah. Mereka dengan seenaknya sendiri menaiki tank pajangan dan berfoto ria diatasnya untuk gaya-gayaan, biar terlihat sangar atau keren. Padahal sudah ada himbauan untuk tidak menaiki tank. Tapi kenapa kok malah dilanggar? Apa alasannya? Apa karena lupa? Aneh rasanya apabila "lupa" dijadikan alasan disini. Kasus serupa mungkin juga terjadi di museum-museum di Indonesia pada umumnya. Seringkali ada pengunjung yang menyentuh koleksi museum. Alasannya pun macam-macam. Ada yang mengatakan bahwa kurangnya tanda pengingat di museum, lupa meskipun ada penjaga yang mengingatkan untuk tidak menyentuh koleksi museum, atau memang pengunjung tersebut memiliki tangan yang jahil dan tidak bisa dikendalikan. Sekarang kembali ke kasus naik tank. Jika memang alasannya adalah lupa, apakah seluruh anggota rombongan melupakan larangan naik tank yang sudah diberitahukan sebelumnya? Tidak adakah seorangpun yang ingat soal larangan tersebut? Apapun alasannya, tindakan naik tank untuk foto-foto dirasa tidak etis.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya. Memang, antara pengunjung dengan peninggalan sejarah di lokasi tersebut berasal dari bangsa yang berbeda. Namun, hal tersebut bukan berarti bisa dijadikan sebagai sebuah justifikasi atas tindakan yang seolah-olah mencerminkan tidak adanya rasa hormat suatu bangsa kepada bangsa lainnya. Terlebih jika rombongan yang tidak menghormati bangsa lain posisinya sebagai tamu. Para pembaca boleh saja mengatakan bahwa saya berlebihan dalam mengomentari hal ini. Namun tindakan tersebut tetap saja memalukan bagi bangsa. Ada peribahasa yang mengatakan : Nila setitik rusak susu sebelanga.

Sebagai penutup, saya menyadari bahwa opini yang saya tulis ini bersifat subjektif. Saya dalam mengetik tulisan ini digerakkan oleh emosi saya sendiri. Meskipun saya mengkritik sang penulis artikel liburan, bukan berarti maksud saya adalah untuk menghina atau menjatuhkan sang penulis artikel liburan. Karena itu saya juga meminta maaf apabila yang bersangkutan membaca tulisan ini dan merasa tersinggung karena saya menggunakan beberapa kata yang terasa kasar. Yang saya harapkan adalah semoga para pembaca mampu meningkatkan kesadaran mereka soal etika dalam mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Semoga kasus yang saya angkat ini mampu dijadikan pembelajaran untuk kita semua.

Waktu menunjukkan pukul 05.41 WIB ketika saya mengetik paragraf ini. Sepertinya saya harus tidur setelah tulisan ini saya post.

Sekali lagi, salam bagi pembaca, jika memang ada yang benar-benar membaca tulisan ini.
Sekian...

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).