Skip to main content

Hari Disabilitas Internasional: Apakah Hanya Sebuah Peringatan Belaka?

Ini adalah postingan perdana saya. Tanpa banyak kata, selamat membaca!




Aslinya tadi niatnya sih mau curhat tentang kerinduan saya dengan sebuah kegiatan yang dulu pernah saya ikuti namun karena suatu alasan saya pun terpaksa nonaktif. Namun entah mengapa kok tiba-tiba saya mendapatkan sebuah inspirasi untuk menulis tentang topik ini. Terlebih setelah berselancar beberapa saat di internet, muncul sebuah artikel berita yang bertema tentang topik yang saya ingin bahas kali ini.





3 Desember 2014

Mungkin bagi kebanyakan orang, tanggal tersebut hanyalah hari biasa sebagaimana pada umumnya. Namun jika kita mau dan punya niat untuk mencari tahu tentang tanggal tersebut, maka kita akan mengetahui bahwa tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional. Ya, itulah topik yang ingin saya bahas kali ini. 3 Desember ditetapkan dan dipromosikan sebagai Hari Disabilitas Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1992. Di tahun 2014, Hari Disabilitas Internasional bertemakan “Sustainable development: The promise of technology”. Fokus dari tema tersebut adalah peran teknologi dalam meruntuhkan tembok pemisah antara kaum difabel dengan orang-orang normal. Sekian penjelasan dari dunia internasional, lantas bagaimana respon Indonesia tentang hari ini?

Tentunya ada beberapa kelompok masyarakat yang memperingati hari ini. Meskipun sebagian besar yang memperingati hari ini adalah para kaum difabel atau orang-orang normal yang masih mau peduli dengan kaum difabel. Sedangkan yang lain mungkin luput, tidak acuh, dan bahkan tidak tahu bahwa hari ini adalah Hari Disabilitas Internasional (Sampai di titik ini, saya merasa hina dan munafik karena yang saya lakukan hanyalah baca-baca sumber dan memposting tulisan ini). Di Indonesia sendiri sebenarnya para kaum difabel ini mempunyai payung hukum berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 yang menjamin hak dan kewajiban para kaum difabel di Indonesia. Tapi, apakah kita semua dalam prakteknya benar-benar peduli dengan kaum yang satu ini?

Bagi kalian yang sibuk debat soal politik, harga BBM, kesetaraan gender, atau lagi sibuk ngejurnal atau ngerjain tugas, marilah sejenak kita renungkan apa saja yang telah kita lakukan sebagai bukti kepedulian kita terhadap kaum difabel. Sudahkah bangsa kita menjadi bangsa yang ramah bagi kaum difabel? Untuk menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya kita lihat fenomena yang terjadi didalam bangsa kita ini. Di dalam masyarakat kita sendiri, seringkali kita dapati beberapa orang yang masih meremehkan, memandang hina, dan bahkan memperolok dan membuat lawakan yang berkaitan dengan kaum ini (Ya! Tradisi kuno yang bodoh ini masih saja berlaku di negara  kita!). Seolah-olah merasa lebih sempurna dan agung. Dan yang lebih menyebalkan lagi, pelaku dari perilaku tidak patut ini tidak memandang status sosial dan lapisan masyarakat. Coba lihat di lapisan bawah, khususnya pengemis, banyak pengemis yang menyamar menjadi orang yang memiliki disabilitas demi mendapat simpati yang lebih sehingga mendapatkan uang yang lebih banyak. Tindakan satu ini bisa dikatakan sebagai sebuah kesalahan tidak hanya karena mengandung unsur penipuan berencana (Ya! Tidak hanya keluarga dan pembunuhan saja yang berencana), tetapi juga melecehkan kaum difabel serta memunculkan pandangan bahwa kaum difabel adalah kaum yang patut dikasihani. Padahal seharusnya, yang dibutuhkan oleh kaum difabel ini bukan rasa kasihan, melainkan adalah pengakuan dan persamaan hak (Bagi kaum feminis radikal, saya harap untuk berhenti melakukan tindakan playing victim dan berucap dengan arogan seolah-olah wanita itu adalah makhluk yang tertindas dan harus mampu menundukkan kaum pria. Kaum wanita sendiri yang berpendidikan banyak yang eneg dengan tindakan kalian. Dan kaitannya dengan topik kali ini, bukan hanya kalian yang butuh persamaan hak). Dengan ini bisa saya tekankan kembali bahwa kaum difabel hanya butuh pengakuan dan persamaan hak. Dan untuk para oknum pengemis, Dasar Penipu! Beraninya melakukan pembelokan pandangan tentang kaum ini (Pernyataan ini bukan berarti bahwa saya benci pengemis, melainkan saya ingin kaum pengemis ini dientaskan dari lingkaran setan yang membelenggu mereka dengan sikap malas. Semoga pemerintah mampu menemukan cara untuk membina mereka dengan efektif).

Namun, apakah lapisan yang lebih atas melakukan hal yang lebih baik? Mohon maaf sebelumnya karena saya mengatakan hal ini, tetapi mereka juga sama-sama bodoh dan kurang ajar. Beberapa oknum masyarakat dalam suatu kesempatan dengan entengnya mengeluarkan candaan-candaan yang cenderung menghina kaum difabel. Yang paling sering menjadi bahan guyonan adalah adalah Autisme. Perhatikan contoh dibawah ini:

“Njir! Gila lu! Kek orang autis aje!”
“Goblok! Ngapain lu betingkah kek orang autis?”
“Dengan semua kelakuan lu, gue bisa ngomong kalo lu adalah temen gue yang paling autis.”



Dan sebagainya.

Beberapa kalimat tersebut adalah contoh yang digunakan oleh orang-orang yang melihat kekonyolan yang dilakukan oleh orang lain. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apa salah para pengidap autisme? Apakah celotehan tersebut terdengar lucu? Mungkin bagi sebagian orang, kalimat tersebut terdengar lucu. Namun saya berani jamin bahwa apa yang dianggap lucu tersebut merupakan belati tajam yang melukai hati orang-orang yang kerabat/keluarganya mengidap autisme ini. Dalam suatu kesempatan saya pernah membaca artikel tentang orang tua yang memiliki anak autis. Mereka berkeluh kesah bahwa mereka merasa sakit hati ketika mereka mendengar atau mengetahui ada orang yang menggunakan lawakan dengan menyinggung soal autisme. Dari sini bisa kita tarik kalimat lagi, bahwa masyarakat kita ini benar-benar butuh untuk disadarkan kepeduliannya terhadap kaum yang kurang beruntung ini.

Sebagai paragraf penutup, yang ingin saya katakan adalah negara dan masyarakat kita masih kurang peduli terhadap kaum difabel. Mulai dari stigma masyarakat, perilaku masyarakat, hingga kurangnya fasilitas khusus untuk kaum difabel (Untuk yang satu ini, bisa saya pahami karena pembangunan infrastruktur untuk umum saja masih banyak kekurangan sana-sini). Semoga masyarakat kita semakin dewasa, dan semoga pemerintah kita diberi kemudahan untuk menjamin hak-hak kaum difabel.

Simpati terdalam di Hari Disabilitas Internasional untuk mereka yang haknya masih harus diperjuangkan. (Sengaja saya tidak mengucapkan kata “selamat” karena terkesan ironis).

Never make fun of the disabled one. You're not even better than them.



Link bacaan yang terkait (Diakses pada tanggal 3 Desember 2014):

Comments

Popular posts from this blog

Balada Kertas Leces dan Tukang Sedekah Asap

Gambar 1: Kertas Leces, riwayatmu kini. Selama 20 tahun kehidupan saya, (hampir) tidak pernah saya merasa trenyuh ketika mendengar kabar tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terlebih memiliki sebuah ikatan emosional dengan korporasi manapun. Namun PT Kertas Leces (Persero) adalah sebuah pengecualian. Memang kedua orang tua saya tidak bekerja sebagai karyawan di pabrik kertas milik negara ini. Namun lingkungan masa remaja sayalah yang mungkin membentuk perasaan simpati terhadap perusahaan yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo.

Kalkun, Unggas dengan Identitas yang Tidak Jelas

Ilustrasi Kalkun (Credit: Angeline) Kalkun bukanlah hewan yang populer di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, unggas tersebut kalah pamor dengan ayam yang notabene masih satu ordo Galliformes. Akui sajalah, kalian yang di Indonesia pasti lebih sering melihat ayam daripada kalkun, baik ternak maupun yang berkeliaran. Memang masih jarang ada peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, ayam telah berhasil lebih dulu menguasai Indonesia dari segi budaya kulinernya. Tiap Lebaran, hidangan opor ayam jauh lebih umum jika dibandingkan dengan olahan daging kalkun. Bahkan, Natalan di Indonesia pun belum tentu dirayakan dengan makan kalkun ramai-ramai. Tidak seperti Amerika Serikat yang setiap tahun rutin merayakan Thanksgiving dan Natal dengan menyantap kalkun yang gemuk, bukan ayam kampung yang hingga kini menempati kasta tertinggi kualitas daging ayam di Indonesia. Karena tingkat popularitasnya yang kurang di mata khalayak Indonesia, mungkin hanya segelintir orang yang semp

Kisah Tiga Bungkus Susu Kedelai

Pada suatu petang, tepatnya pada tanggal 11 November 2015, Yang Maha Kuasa sepertinya mempertemukanku dengan dua orang yang tidak pernah kuduga kemunculannya dalam hidupku. Kuingat pada saat itu aku sedang berada di sebuah warung penyetan sekitar daerah Kalidami setelah sebelumnya sempat beraktivitas di kampus. Aku semula berniat untuk menyegerakan diri menyantap makanan yang kupesan hingga dengan tiba-tiba seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia rupanya datang bersama ibunya yang menunggu tak jauh dari tempat sang gadis kecil itu berdiri sambil menaiki sepeda. Aku baru menyadari keberadaan gadis kecil itu ketika ia mulai membuka percakapan dengan saya (Jujur sebenarnya aku sendiri tidak hafal persis bagaimana detail percakapan yang mengalir pada saat itu. Namun setidaknya inilah gambaran yang kuingat tentang kejadian pada petang itu).